Langkah kaki beberapa anak muda menyusuri gang sempit. Tangan mereka memanggul karung beras dan paket sembako. Tak ada atribut institusi besar. Tak ada hiruk-pikuk atribut institusi besar yang mencolok mata, apalagi kilatan cahaya kamera dokumentasi profesional.
Semua dijalankan dalam senyap yang penuh makna, sebuah orkestra kebaikan yang bermain tanpa sorotan panggung utama
Semua dijalankan senyap tetapi teratur, lahir dari inisiatif para alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang percaya bahwa kebermanfaatan tak harus menunggu momen besar.
Setiap Jumat, seolah ada janji tak tertulis yang terpelihara mereka mengumpulkan donasi seikhlasnya. Hasilnya kemudian diwujudkan dalam bentuk kebutuhan pokok dan disalurkan langsung pada akhir pekan.
Mereka menyusuri jalur-jalur rawan pengabaian. Menyambangi rumah-rumah sederhana yang kerap tersembunyi, membawa harapan bagi buruh harian yang punggungnya lelah, lansia yang hidup sebatang kara tanpa sanak saudara, pengumpul barang bekas yang berjuang melawan terik dan hujan, serta keluarga prasejahtera yang sering kali luput dari data resmi pemerintah.
Mengenal OSA, Skema Bantuan Keamanan Jepang yang Kirim Alat Pertahanan ke Indonesia
Tanpa publikasi berlebihan, kegiatan ini menjadi semacam denyut nadi sosial yang berdenyut pelan, namun konsisten. Ada kepedulian yang menyelinap masuk melalui celah-celah sunyi, mengisi kekosongan sistematis yang belum sepenuhnya tuntas dijawab oleh negara.
Menyambungkan Rasa, Bukan Sekadar Memberi
Yang dibawa mungkin sekilo beras, satu bungkus minyak goreng, atau beberapa mie instan. Namun, lebih dari itu, kehadiran para relawan membawa pengakuan bahwa kehidupan mereka yang sederhana tetap penting, bahwa mereka tidak dilupakan.
“Kalau nunggu donatur besar, kegiatan seperti ini bisa mandek. Tapi kalau mulai dari yang kecil dan dikerjakan bersama, ternyata bisa terus jalan,” tutur salah satu relawan yang sejak awal terlibat.
Bagi para alumni yang beraksi langsung di lapangan, kegiatan ini bukan soal filantropi satu arah. Ada interaksi, dialog, bahkan pertemanan baru yang lahir dari proses distribusi. Bantuan tidak turun dari atas, tapi hadir sejajar menghormati mereka yang menerima.
Tak semua orang berhak menerima bantuan sosial dari pemerintah setidaknya secara administratif. Banyak dari mereka yang tak memiliki KTP domisili, atau tinggal di wilayah semi permanen yang sulit dijangkau oleh sistem.
Gerakan kecil dari komunitas seperti ini hadir bukan untuk menggantikan sistem, tapi menambal kekosongan yang ditinggalkan oleh pemerintah. Berkat relasi yang sudah terbentuk sejak lama dengan masyarakat sekitar.
Para relawan tahu siapa yang harus didatangi terlebih dahulu, siapa yang paling rentan, siapa yang tak akan meminta, tetapi sangat butuh.
Nilai yang Tak Terlihat, tapi Terasa
Banyak yang menganggap bantuan kecil tidak akan cukup. Namun, bantuan yang kecil dan terus-menerus? tulah yang menciptakan rasa aman. Gerakan seperti ini mungkin tidak menyelesaikan kemiskinan struktural, tapi mampu memberikan jeda di tengah kehidupan yang menekan.
Kekuatan mereka bukan pada jumlah, melainkan terletak pada ketekunan ritme yang tak pernah putus. Setiap pekan, tanpa henti, para relawan hadir.
Tak ada SOP rumit, tak ada dana CSR. Yang ada hanyalah relasi antarmanusia dan tanggung jawab moral yang tumbuh dari pengalaman.
Gerakan ini membuka ruang bagi siapa saja yang ingin belajar empati, memahami ketimpangan secara nyata, dan merasakan bahwa perubahan sosial tak harus datang dari atas.
Alumni yang terlibat bukan hanya memberikan bantuan, mereka juga sedang menegaskan bahwa keilmuan yang mereka pelajari tak berhenti di ruang kuliah, tetapi tumbuh di jalanan. Di rumah-rumah sempit yang menjadi saksi keterbatasan, dan dalam tatapan orang-orang yang hanya berharap bisa bertahan hari ini.
Kunjungan Soekarno ke New York pada 1956, Singgung Soal Bantuan dan Kebebasan
Apa yang semula dilakukan oleh segelintir alumni kini mulai menyebar. Mahasiswa ikut turun tangan. Alumni dari kota lain mulai bertanya bagaimana cara membuat kegiatan serupa. Warga yang melihat langsung dampaknya ikut menyumbang, meski hanya satu liter minyak atau setengah kilo beras.
“Kami memang berharap ini bisa jadi gerakan nasional. Bukan berarti harus besar, tapi bisa ditiru dan dilakukan di mana saja. Di setiap kota pasti ada orang yang mau bergerak,” ujar Jabar, Ketua Umum IKALUM FKM UM.
Semangatnya sederhana siapa pun bisa ikut, selama mau menyisihkan waktu dan kepedulian. Gerakan ini tidak besar, tidak glamor, tetapi justru karena itulah ia kuat.
Ia tidak menunggu perubahan dari atas, tapi menciptakan perubahan dari bawah.
Jika semangat ini bisa menyebar ke lebih banyak kota, lebih banyak alumni, lebih banyak komunitas maka bukan mustahil, Indonesia bisa dibangun bukan hanya oleh proyek. Namun, juga oleh kepekaan sosial yang tumbuh dari hati.
Penulis: Adipatra Kenaro Wicaksana
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News