Di tengah aktivitas media sosial yang didominasi oleh estetika dan konten ringan, muncul suara yang menawarkan kedalaman yang kurang diperhatikan. Suara ini menekankan pentingnya membahas isu-isu yang lebih serius dan substansial.
Dengan mengajak masyarakat untuk merenungkan topik-topik yang jarang terangkat, narasi ini berusaha memberikan perspektif yang lebih mendalam dan bermakna dalam konteks percakapan di media sosial.
Jeo Rhyxalle Davidson, sebelumnya dikenal sebagai Eka Yusrizal, memperkenalkan program bernama Markicang (Mari Kita Berbincang) dalam rangka merayakan Hari Anak Nasional 2025.
Dalam unggahan Instagram-nya, Jeo Rhyxalle Davidson menggambarkan harapan anak-anak melalui dua papan catatan, dan mengajak percakapan yang lebih mendalam tentang pengalaman, mimpi, dan potensi mereka.
Markicang bertujuan untuk menjadi platform yang menyoroti isu-isu yang sering terabaikan terkait anak-anak, dan mengajak masyarakat untuk merenungkan makna Hari Anak Nasional dengan cara yang lebih reflektif.
Dalam merayakan hari istimewa ini, Jeo Rhyxalle Davidson tidak hanya mengedepankan suasana ceria, tetapi menghadirkan sebuah cermin refleksi yang menggugah: Sudahkah kita benar-benar mendengarkan suara anak-anak di sekitar kita?
Melalui narasinya, Jeo mengajak kita untuk melihat sisi lain dari Hari Anak Nasional. Sebuah momen untuk tidak hanya merayakan, tetapi juga merangkul mereka yang tumbuh dalam kesunyian.
Jeo Rhyxalle Davidson sendiri adalah seorang tokoh muda yang memiliki kepedulian dan berpengalaman dalam advokasi gerakan anak dan remaja. Jeo memulai kiprahnya sebagai Pelopor dan Pelapor di Forum Anak Daerah.
Forum ini memberi ruang bagi anak-anak untuk menyuarakan hak dan aspirasi mereka, dari tingkat lokal hingga internasional.
Dari Obrolan Ringan ke Ruang Refleksi Kolektif
Dalam unggahan terbarunya, Jeo Rhyxalle Davidson tampil memegang dua papan berisi ratusan catatan harapan dari anak-anak. Di balik visual yang ceria, terselip narasi mendalam. Dalam salah satu slide, ia menulis:
“Masa depan bangsa tak akan cerah tanpa anak-anak yang sehat jiwanya, cerdas akalnya, dan kuat karakternya.”
Kalimat ini menjadi inti dari pesan yang ia sampaikan melalui lima slide yang dirancang dengan cermat. Jeo tidak hanya memperingati Hari Anak Nasional.
Namun, juga menyoroti isu-isu yang sering terabaikan: anak-anak yang tumbuh di tengah konflik keluarga, mereka yang terpaksa dewasa sebelum waktunya, dan luka yang lahir dari kata-kata kasar.
Eka Yusrizal, Pemuda Bandung Jadi Agent of Change for The United Nations dari Kemenlu dan PBB
Ia juga menambahkan, “Setiap anak membawa potensi besar... Tapi tidak semua anak lahir di tempat yang ramah bagi tumbuhnya harapan.”
Markicang menolak narasi umum yang hanya menyoroti anak-anak yang ‘hebat’ dan ‘berprestasi’, dan justru memberi panggung bagi mereka yang bertahan dalam diam. Mengajak kita masuk ke ruang yang jarang kita jamah, ruang luka anak-anak.
Berbicara dari Hati, Menyentuh Realitas
Jeo menyuarakan isu-isu yang tak nyaman. Di saat kebanyakan akun publik lebih memilih untuk menyebarkan konten yang estetik atau inspiratif secara superficial.
Ia berbicara tentang ruang aman yang hilang, tentang anak-anak yang tumbuh tanpa pelukan, dan tentang suara-suara kecil yang tak didengar.
Salah satu kutipan yang mencuri perhatian, “Anak hebat tidak lahir dari pujian... Tapi dari ruang yang membiarkan mereka menjadi utuh.”
Kalimat ini bukan sekadar puitis, tetapi juga revolusioner. Menantang sistem pendidikan dan pengasuhan yang terlalu menekankan capaian, tapi melupakan perasaan. Ia menyentil para orang dewasa yang kerap hadir dengan tuntutan, tetapi absen dalam empati.
Pesannya sederhana dan mengena: anak membutuhkan empati, bukan sekadar ekspektasi.
Melalui unggahan sederhana, Jeo mengajak kita berkaca: sudahkah kita benar-benar hadir untuk anak-anak? Markicang, adalah cermin sekaligus undangan untuk menjadi bagian dari perubahan dengan mendengarkan, memeluk, dan memberi ruang bagi setiap anak untuk tumbuh utuh.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News