Bukan menjadi rahasia lagi negeri kita memiliki alur birokrasi yang rumit, di mana banyak kejadian ketika kita ingin mengurus dokumen kependudukan memerlukan proses yang rumit.
Atau dapat kita lihat, akses bantuan sosial yang merupakan turunan dari pemerintah pusat dengan tujuan baik dan adil seringkali terbatasi oleh pihak-pihak yang mengaku ingin ‘membantu’ di lapangan. Namun, dengan konotasi ‘membantu’ itu perlu ada insentif tambahan yang perlu dipenuhi agar dapat diselesaikan.
Di saat itu juga, kita sebagai masyarakat yang awalnya tahu bahwa prosesnya tidak perlu mengeluarkan biaya, jadi terpaksa untuk mengeluarkan.
Dari sini, bisa kita liat bahwa apa yang menjadi dasar dari terciptanya kebijakan memang memiliki itikad baik untuk membantu masyarakat. Hanya saja, sering terbatas oleh birokrasi yang rumit.
Kebijakan Unik Berbagai Negara dalam Menyesuaikan Kurikulum Pendidikan dengan Pasar Kerja
Banyak yang merasa dipermudah ketika sudah mengeluarkan biaya yang lebih. Patut kita pertanyakan, apakah kebijakan yang diterapkan kepada masyarakat ini memang masalahnya hanya pada implementasinya saja? Atau memang alur birokrasi kita yang sengaja dipersulit untuk membesarkan para oknum yang sesat?
Analisa Kebijakan Publik dan Alur Birokrasi yang Rumit?
Sebenarnya apa itu kebijakan publik? Mudahnya kebijakan publik adalah sebuah aturan yang dibentuk dengan tujuan mengikat kehidupan kita sebagai masyarakat. Hal tersebut tentunya dilakukan oleh regulator kita yang bertindak sebagai penanggung jawab yang menaungi hak dan kewajiban kita sebagai masyarakat.
Oleh karena itu, penting untuk dipahami bahwa kebijakan yang baik perlu ditumpangi dengan birokrasi yang baik juga. Karena untuk mencapai good governance, bukan hanya sekadar apa isi dari kebijakannya. Namun, terkait siapa yang bertanggung jawab agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan.
Rumitnya birokrasi di Indonesia bukan sekadar masalah administratif, melainkan tantangan struktural yang menjadi problematika utama kita.
Laporan OECD terbaru (East Asia Forum, 2024) mengungkap bahwa koordinasi antarlembaga di Indonesia masih lemah. Integrasi kebijakan lintas sektor berjalan lambat melemahkan efektivitas implementasi dari pusat ke daerah.
Lain halnya dengan pertahanan data juga tidak memiliki alur yang efektif. Seperti yang dilaporkan oleh Bappenas, terdapat catatan terjadinya sinergitas dan konvergensi yang minim. Ini menyebabkan program bantuan sosial yang memiliki akurasi sasaran program masih rendah, hanya sekitar 7,5% pada tahun 2023.
Di lapangan, belanja perlindungan sosial sebesar sekitar 10,7% dari APBN 2023 tidak sejalan dengan output-nya. Banyak penerima bantuan sosial tidak tepat sasaran karena data DTKS tidak sinkron dengan NIK dan basis data kementerian/lembaga lainnya.
Misfungsi yang terjadi menyebabkan jalur kelabu, seperti laporan ICW 2023–2024 mencatat adanya 288 kasus proyek fiktif dan 259 kasus penyalahgunaan anggaran yang mengindikasikan bahwa tingginya kompleksitas memberi peluang kuat bagi penyimpangan di sektor pengadaan publik (UGM, 2025).
Indonesia juga masih berada di peringkat ke‑65 dari 141 negara dalam hal meritokrasi birokrasi, berada di bawah sebagian besar negara ASEAN. Ini menunjukkan bahwa praktik reformasi birokrasi yang kita jalankan belum berhasil mengurangi nepotisme dan praktik kolusi yang merugikan publik.
Dampak dari yang terjadi melalui rusaknya sistem birokrasi kita menghasilkan tumpang tindih tanggung jawab. Menjadi abu-abu dalam mempertanyakan kerugian yang dialami oleh masyarakat.
Munculnya manipulator tidak dapat dihiraukan, sebab oknum yang muncul juga merupakan efek dari sistem birokrasi kita yang mudah untuk dikacaukan.
Kebijakan untuk Ketiadaan Wisuda bagi Anak Sekolah, Bagaimana Dampaknya?
Hal tersebut dapat berdampak pada minimnya kontribusi dari masyarakat yang bingung untuk mengadu pada siapa ketika hak mereka tidak dapat dipenuhi seutuhnya.
Solusi Arah Perubahan Kebijakan yang Reflektif
Untuk merombak sistem birokrasi yang selama ini kerap menjadi hambatan implementasi kebijakan publik, Indonesia memerlukan pendekatan reformasi yang menyentuh akar struktural.
1. Peningkatan Meritokrasi dalam Tubuh Birokrasi
Banyak jabatan publik hari ini masih ditentukan oleh kedekatan politik atau loyalitas, bukan pada kemampuan dan pengalaman. Padahal, birokrat yang kompeten dan independen adalah kunci agar kebijakan tidak hanya disusun dengan tepat, tetapi juga dijalankan secara etis dan bertanggung jawab.
Proses rekrutmen, promosi, hingga evaluasi kinerja harus berbasis objektivitas dan transparansi. Dengan begitu, kepercayaan publik dapat tumbuh, dan kebijakan tidak lagi terjebak dalam kepentingan jangka pendek elit.
2. Digitalisasi Birokrasi sebagai Transformasi
Harus dipahami sebagai transformasi menyeluruh terhadap cara kerja pemerintah, bukan sekadar migrasi layanan ke dalam bentuk daring. Sistem digital harus dibangun secara terintegrasi antarinstansi dan memungkinkan pengawasan publik secara real time.
Misalnya, alur pengajuan bantuan sosial seharusnya tidak lagi mengharuskan masyarakat berhadapan langsung dengan berlapis-lapis verifikasi manual, melainkan cukup melalui satu pintu yang aman, transparan, dan mudah diakses.
Digitalisasi juga harus mempertimbangkan kesiapan SDM birokrasi dan literasi digital masyarakat, agar sistem yang dibangun tidak eksklusif dan menyulitkan kelompok rentan.
3. Ruang Partisipasi Publik dalam Kebijakan
Perlu dibuat lebih konkret dan terstruktur. Selama ini, forum-forum aspirasi publik seringkali bersifat simbolis atau hanya dilakukan di tingkat pusat. Padahal, kebutuhan masyarakat sangat beragam dan kontekstual.
Pemerintah harus menyediakan sistem penerimaan masukan secara daring maupun luring yang mudah dijangkau dan rutin dijalankan di setiap tingkatan pemerintahan.
Aspirasi masyarakat tidak boleh hanya dijadikan formalitas dalam naskah akademik kebijakan, tetapi harus menjadi salah satu variabel utama dalam evaluasi dan perumusan peraturan.
Platform Bijak Memantau Diluncurkan, Ajak Publik Ambil Bagian Awasi Kebijakan
3. Reformulasi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah perlu direformulasi agar berjalan setara dan sinergis. Saat ini, desentralisasi yang tidak disertai koordinasi membuat banyak kebijakan mandek di tingkat implementasi.
Pemerintah pusat harus memperkuat sistem supervisi dan pendampingan kebijakan, namun juga memberi ruang inovasi bagi daerah agar kebijakan bisa disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Tanpa sistem komunikasi dan pembagian wewenang yang jelas, kebijakan publik akan terus tersendat oleh perbedaan persepsi dan kepentingan antar lembaga.
Reformasi birokrasi bukan sekadar upaya teknis, melainkan kerja panjang membangun kepercayaan publik. Jika kebijakan ingin benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat, maka sistem yang melahirkannya pun harus bersih, responsif, dan berpihak.
Membenahi birokrasi adalah langkah awal untuk memastikan bahwa setiap regulasi hadir bukan sebagai beban, tetapi sebagai solusi nyata bagi kehidupan rakyat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News