kisah bendera merah putih dari warung soto hingga proklamasi kemerdekaan - News | Good News From Indonesia 2025

Kisah Bendera Merah Putih: Dari Warung Soto hingga Proklamasi Kemerdekaan

Kisah Bendera Merah Putih: Dari Warung Soto hingga Proklamasi Kemerdekaan
images info

Bendera Merah Putih sudah menjadi identitas masyarakat Indonesia bahkan sebelum zaman kemerdekaan. Karena itu, masa proklamasi jadi momen sakral bagi bendera Merah Putih untuk berkibar.

Tetapi ada cerita unik bahwa bendera Merah Putih yang berkibar saat proklamasi berasal dari warung soto. Bendera itu lalu dijahit oleh Fatmawati dan akhirnya berkibar di tempat pembacaan Proklamasi.

Momen pembacaan proklamasi 

Setelah Jepang di bom atom oleh Amerika Serikat, kondisi Indonesia saat itu mengalami vakum of power. Para pemuda mendesak para tokoh bangsa, Soekarno dan Mohammad Hatta untuk segera membacakan proklamasi.

Setelah diculik ke Rengasdengklok, Bung Karno akhirnya siap untuk membacakan teks proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Proklamasi ini dilakukan secara sederhana dan hanya dihadiri oleh beberapa orang.

Tanpa barisan protokol, selesai Bung Karno membacakan teks proklamasi, bendera Merah Putih pun diikat oleh Latief Hendraningrat dengan seutas tali kasar, yang lalu mengerek dan mengibarkan pada tiangnya.

Sejak itulah, bendera tersebut dikibarkan tiap tanggal 17 Agustus. Lalu pada tahun 1958 dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 40/1958, diputuskan bendera kebangsaan yang digunakan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945, menjadi bendera pusaka atau Sang Saka Merah Putih.

Namun, bendera (berasal dari bahasa Portugis bandeiia) pusaka yang kian tua itu, pada tahun 1968 tidak dikibarkan lagi, lalu diganti dengan duplikatnya yang berukuran asli persis 178 cm x 274 cm (sampai tahun 1970 bendera duplikat berbahan sutera alam sudah dibuat sebanyak 430 helai)

Kain Bendera Pusaka Dari Tenda Warung Soto

Ternyata ada cerita unik yang mengatakan bahwa bendera Sang Saka Merah Putih yang berkibar itu berasal dari sebuah warung soto. Sebelum akhirnya dijahit sendiri oleh Ibu Negara Pertama RI, Fatmawati.

Dimuat dari Intisari, cerita ini berasal dari Brigjen TNI (Purn) Lukas Kustaryo yang menuturkan perjuangannya mencari kain merah untuk bendera pusaka. Pada awalnya dia datang ke rumah Bung Karno co Lukas diberi tugas secara inkognito membawa surat pribadi Tan Malaka.

Sesampainya di Jln. Pegangsaan Timur no. 56, Kustaryo melihat Fatmawati menjahit bendera merah putih. Tetapi kain bendera yang digunakan ternyata terlalu kecil.

“Tapi saya lihat benderanya terlalu kecil, kira-kira hanya berukuran panjang setengah meter. Dalam hati saya berkata, kayaknya nggak pantas. Untuk proklamasi kok benderanya tak begitu bagus,” begitu ujar Kustaryo.

Karena itu, secara inisiatif laskar Peta Pacitan ini berniat mencari kain yang lebih besar untuk bendera. Pemuda kelahiran 20 Oktober 1920 ini lalu menyusuri rel KA dari Pegangsaan sampai Pasar Manggarai. 

Dia kemudian melihat sebuah warung soto bertenda kain merah. Tanpa pikir panjang, dirinya membeli kain itu kemudian dibawa ke rumah Fatmawati.

“Saya beli kain ini dengan harga Rp500,00, terdiri atas lima lembar ratusan uang zaman Jepang dari kocek saya sendiri. Melihat uang segitu banyak, si tukang warung hanya terbengong-bengong saja. Transaksi waktu itu tidak berlangsung lama.”

Versi lain soal bendera Merah Putih 

Tetapi ada juga versi lain yang mengatakan bahan bendera Merah Putih sebenarnya berasal dari seorang perwira Jepang. Ketika itu, saat sedang mengandung sembilan bulan Guntur Soekarnoputra ada perwira Jepang membawa kain dua blok. 

“Yang satu blok berwarna merah sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai,” tukas Fatmawati kala itu.

Perwira bernama Chairul Basri ini memperoleh kain itu dari Hitoshi Shimizu, kepala Sendenbu (Departemen Propaganda). Shimizu menceritakan kepada Chairul Basri, kain itu diperoleh dari sebuah gudang Jepang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, di depan bekas Bioskop Capitol. 

“Saya diminta oleh Shimizu untuk mengambil kain itu dan mengantarkannya kepada ibu Fatmawati,” kenang Chairul.

Pada 1978, Hitoshi Shimizu diundang Presiden Soeharto untuk menerima penghargaan dari Pemerintah Indonesia karena dianggap berjasa meningkatkan hubungan Indonesia-Jepang. Usai menerima penghargaan, Shimizu bertemu dengan kawan-kawannya semasa pendudukan Jepang.

Sumber:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.