- Indonesia diprediksi bakal "kebanjiran" produksi beras sebesar 35,6 juta ton di 2025/2026.
- Pakar UGM sarankan penggunaan inovasi dan teknologi yang ramah lingkungan untuk mengoptimalkannya.
Indonesia dipredikasi akan “kebanjiran” jumlah produksi beras, yakni 35,6 juta ton di musim tanam 2025/2026. Data ini dilaporkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam Food Outlook Biannual Report on Global Food Markets edisi Juni 2025.
Kabar baik ini menjadi sinyal positif, mengingat Indonesia bertekad untuk mewujudkan swasembada pangan dalam beberapa tahun ke depan. Iklim yang relatif lebih stabil menjadi alasan mengapa jumlah produksi beras dalam negeri melimpah. Oleh karena itu, banyak lahan yang dapat ditanami dan jumlah panen ikut naik.
Apa Faktor Penyebab Tingginya Produksi Beras RI?
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Subejo, menyebutkan dalam data produksi beras dari 2019 sampai Mei 2024, hasil di tahun 2025 adalah yang paling tinggi dalam rentang waktu tersebut. Namun, tahun 2018 juga disebutnya memiliki jumlah produksi yang lebih tinggi.
Selain faktor iklim, kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen, yakni Rp6.500 per kilogram, turut memberikan insentif ekonomi bagi para petani untuk meningkatkan produksi mereka. Harga yang stabil dan jaminan adanya penyerapan hasil panen oleh Bulog sukses menciptakan rasa “aman” bagi petani dalam mengelola usaha tani mereka.
“Kepastian harga juga mengurangi fluktuasi pasar yang sebelumnya seringkali merugikan petani ketika harga gabah anjlok saat panen raya,” terangnya melalui ugm.ac.id.
Tantangan yang Dihadapi
Kawan, di sisi lain Subejo ikut menyoroti soal kebijakan HPP yang menimbulkan tantangan baru di sisi hilir. Kenaikan gabah berdampak langsung bagi harga beras di pasar.
Jika bahan baku semakin mahal, otomatis harga beras eceran juga bakal mengalami kenaikan di beberapa wilayah. Hal ini disebutnya akan menimbulkan kekhawatiran dari segi daya beli konsumen, utamanya kelompok masyarakat berpendapatan rendah atau kelompok rumah tangga miskin.
“Harga gabah yang tinggi memang menguntungkan petani, tapi otomatis akan memicu kenaikan harga beras di pasar. Ini hukum ekonomi. Jika tidak diintervensi lewat efisiensi proses pengolahan, harga beras bisa melonjak hingga melampaui harga eceran tertinggi,” paparnya.
Di sisi lain, Indonesia juga masih memiliki tantangan dalam hal produktivitas lahan. Produktivitas rata-rata nasional masih berada di kisaran 5,2 ton per hektare, di mana jumlah ini tertinggal dari Vietnam dan Thailand yang sudah mencapai enam ton per hektare.
“Selain penyediaan air yang memadai secara terus menerus, tentu nanti memilih jenis padi yang sesuai, mendampingi teknis produksi, kemudian memilih misalnya cara-cara pengendalian hama yang sesuai, ruang pengembangannya masih ada sebenarnya,” terangnya.
Langkah untuk Mengoptimalkannya
Demi menyambut panen produksi padi dengan jumlah yang fantastis itu, Subejo menyarankan perlunya efisiensi dan inovasi teknologi di tahap pasca-panen. Penggunaan teknologi yang lebih modern dalam proses pengeringan, penggilingan, dan distribusi beras diharapkan bisa menekan biaya produksi akhir.
Tak hanya itu, mekanisasi pertanian dan pengenalan smart farming, seperti penggunaan mesin pengering dan penggilingan berteknologi tinggi, juga bisa meningkatkan kualitas beras sekaligus menurunkan tingkat kehilangan hasil.
Perlu ada inovasi lain, seperti pengering bertenaga surya atau sistem pengolahan berbasis energi terbarukan yang dapat dilakukan. Hal ini dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menekan biaya operasional secara signifikan.
Selain itu, saat kemarau, perlu ada sistem irigasi alternatif yang hemat biaya dan ramah lingkungan, seperti embung mikro. Pemanfaatan pompa air bertenaga surya juga bisa jadi opsi di wilayah yang memiliki sumber air melimpah, tapi minim irigasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News