Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) yang diperingati setiap 12 Juli sejatinya bukan sekadar agenda seremonial. Lebih dari itu, ia menjadi momen reflektif atas peran koperasi dalam sejarah sekaligus masa depan ekonomi Indonesia.
Namun, di tengah arus digitalisasi dan tumbuhnya individualisme, masihkah koperasi relevan bagi generasi muda?
Sekilas Sejarah Hari Koperasi Nasional
Peringatan Harkopnas merujuk pada pelaksanaan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya pada 12 Juli 1947. Kongres tersebut menjadi titik tolak kebangkitan koperasi Indonesia yang dilandasi semangat kemandirian dan gotong royong.
Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, menyebut koperasi sebagai sistem ekonomi rakyat yang ideal karena tidak menindas dan tidak tertindas.
Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, koperasi bukan hanya entitas ekonomi, tetapi juga simbol perlawanan terhadap sistem kapitalisme kolonial yang eksploitatif.
Melalui koperasi, rakyat kecil diberi akses untuk berproduksi, berdagang, dan saling menyejahterakan tanpa harus bergantung pada pemodal besar atau asing.
Berdasarkan laporan resmi Kementerian Koperasi dan UKM (2024), semangat koperasi yang diwariskan Hatta masih menjadi dasar gerakan koperasi modern saat ini.
Meski bentuk dan tantangannya telah berubah, nilai-nilai seperti kejujuran, solidaritas, dan partisipasi aktif tetap menjadi inti sistem koperasi hingga kini.
Nilai-Nilai Koperasi: Masihkah Relevan?
Kawan GNFI, koperasi dibangun di atas tujuh prinsip yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, yakni: keanggotaan sukarela, pengelolaan secara demokratis, pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) secara adil, pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, kemandirian, pendidikan perkoperasian, dan kerja sama antarkoperasi.
Di tengah dunia yang makin individualistis, prinsip-prinsip ini kerap dianggap tidak relevan. Padahal justru saat kesenjangan ekonomi melebar dan solidaritas sosial melemah, koperasi menawarkan jalan tengah yang mengedepankan keadilan dan pemerataan.
Laporan dari Katadata Insight Center (2024) menyebutkan bahwa koperasi memiliki potensi besar sebagai jaring pengaman sosial dan penggerak ekonomi mikro yang inklusif. Dengan prinsip yang menyeimbangkan antara keuntungan dan keberlanjutan, koperasi hadir sebagai alternatif rasional dalam menghadapi tantangan global.
Lebih jauh, prinsip koperasi juga sejalan dengan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama dalam aspek pengentasan kemiskinan, pekerjaan layak, serta pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Koperasi di Mata Generasi Muda
Tidak dapat dimungkiri, banyak anak muda memandang koperasi sebagai lembaga yang kaku dan ketinggalan zaman. Bahkan, masih ada anggapan bahwa koperasi hanya sebatas unit simpan pinjam dengan sistem manual yang tidak efisien.
Namun, persepsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Kini, bermunculan koperasi digital yang memanfaatkan teknologi dan dikembangkan oleh anak muda.
Menurut laporan Akurat.co (9/7/2025), koperasi digital menjadi andalan transformasi ekonomi desa 2025–2029. Pemerintah bersama Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi bahkan telah menyusun peta jalan transformasi koperasi desa melalui digitalisasi dan hilirisasi produk lokal.
Data Kementerian Koperasi dan UKM (2024) menunjukkan peningkatan signifikan jumlah koperasi digital yang digerakkan oleh generasi milenial dan Gen Z. Ini menjadi bukti bahwa koperasi tetap menarik selama diberi ruang untuk tumbuh dan beradaptasi dengan zaman.
Tantangan dan Peluang Koperasi di Era Digital
Transformasi digital menjadi tantangan utama koperasi saat ini. Banyak koperasi konvensional masih mengandalkan operasional manual, mulai dari pencatatan keuangan hingga layanan keanggotaan. Hal ini menyulitkan koperasi untuk bersaing dengan layanan keuangan digital yang lebih cepat dan praktis.
Menjawab tantangan tersebut, pemerintah meluncurkan Sistem Informasi Data Tunggal Koperasi dan UMKM (SIDT-KUMKM).
Sistem ini mendukung digitalisasi koperasi secara nasional agar lebih transparan dan efisien, terutama dalam pencatatan transaksi dan pengelolaan anggota (Katadata Insight Center, 2024).
Selain itu, Bank Indonesia dalam Laporan Stabilitas Sistem Keuangan Triwulan I/2024 menyoroti pentingnya peran koperasi dalam mendukung inklusi keuangan, khususnya di wilayah yang belum terjangkau layanan perbankan formal.
Dengan kata lain, koperasi punya peluang besar untuk berkembang, terlebih jika melibatkan generasi muda yang akrab dengan teknologi dan kolaborasi.
Mewariskan Semangat Koperasi ke Masa Depan
Masa depan koperasi ditentukan oleh kemampuannya untuk beradaptasi. Namun, adaptasi saja tidak cukup. Koperasi harus tetap mewariskan nilai dasarnya: kebersamaan, keadilan, dan kemandirian. Bagaimana caranya?
Pertama, koperasi perlu memberi ruang kepemimpinan bagi generasi muda. Mereka tidak hanya sebagai anggota pasif, tetapi juga pelaku utama dalam perancangan strategi dan inovasi koperasi.
Kedua, koperasi harus memperluas sektor kegiatan. Tidak hanya terbatas pada pertanian atau simpan pinjam, melainkan juga merambah sektor ekonomi kreatif, digital, logistik, hingga teknologi.
Ketiga, koperasi perlu berkolaborasi lintas sektor dengan startup, lembaga pendidikan, hingga pemerintah daerah guna membangun ekosistem usaha yang berkelanjutan.
Sebagaimana tercantum dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif 2024, koperasi dinilai sebagai lembaga strategis dalam menjangkau kelompok rentan dan mendukung ekonomi akar rumput.
Jika dikelola secara profesional dan inovatif, koperasi bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan juga solusi masa depan.
Momentum bagi Generasi Muda
Kawan GNFI, koperasi bukan sistem ekonomi yang usang. Ia hanya menunggu kesempatan untuk diperbarui dan diberi ruang berkembang. Generasi muda punya peran penting dalam transformasi ini.
Dengan semangat digitalisasi, profesionalisme, dan kolaborasi, koperasi mampu menjawab tantangan zaman dan menjadi motor penggerak ekonomi yang lebih adil. Harkopnas bukan hanya momen mengenang masa lalu, tetapi ajakan untuk menatap masa depan bersama koperasi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


