Banyak orang tua berkata bahwa mereka ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun, tak jarang, "yang terbaik" itu justru datang dalam bentuk larangan, batasan, bahkan pembunuhan secara diam-diam atas mimpi anak.
Semua demi satu alasan: ‘takut’. Takut gagal. Takut tidak mampu membiayai. Takut anaknya mengalami kehidupan sulit yang sama seperti mereka.
Banyak keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah, impian anak sering kali bukan dilawan oleh dunia luar, tapi oleh orang tuanya sendiri.
Anak yang ingin jadi penulis diminta “cari jurusan yang menghasilkan uang.” Anak yang ingin jadi atlet disuruh “fokus sekolah biar bisa kerja kantor.” Seolah mimpi adalah kemewahan yang hanya boleh dimiliki oleh mereka yang lahir kaya.
Miskin Bukan Dosa, tetapi Mematikan Mimpi Bisa Jadi Luka
Melansir data dari Australian Early Development Census tahun 2024, sepertiga anak dari keluarga termiskin mengalami kerentanan perkembangan, baik secara emosional maupun sosial. Hal ini menandakan bahwa dampak kemiskinan tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek psikologis yang sangat dalam.
Sementara itu, di Indonesia sendiri, angka kemiskinan masih menyentuh lebih dari 25 juta jiwa. Di tengah situasi ini, banyak anak yang tumbuh tanpa harapan karena orang tua merasa tak sanggup melihat anak bermimpi lebih tinggi dari realitas keluarganya. Bukan karena tidak cinta, tetapi karena cinta yang dibungkus dengan rasa takut.
Cacah Bencah, Permainan Tradisional dari Yogyakarta yang Mengasah Kemampuan Fisik Pemainnya
Ketika Ketakutan Mengganti Harapan
Dari sudut pandang psikologis, ketakutan orang tua yang berakar dari kemiskinan bisa memengaruhi cara mereka membesarkan anak. Menurut teori psikologi Self-Determination Theory, setiap anak membutuhkan tiga hal untuk tumbuh sehat secara mental: rasa didukung, kebebasan memilih, dan kepercayaan diri akan kemampuannya.
Sayangnya, semua ini sering terenggut ketika orang tua memutuskan bahwa “mimpi itu bahaya.”
Dalam situasi keluarga miskin, tekanan hidup membuat orang tua rentan stres. Seperti dijelaskan dalam Family Stress Model, stres ini bisa membuat pola asuh menjadi keras, penuh larangan, atau bahkan manipulatif. Bukan lagi membimbing, tetapi mengontrol.
Di Indonesia, tekanan ekonomi bukan hanya soal uang. Sebuah analisis menyebut bahwa kemiskinan bisa memicu stres tinggi pada orang tua, yang kadang berujung pada kekerasan sebagai pelampiasan frustrasi.
Sebagai akibatnya, orang tua cenderung bersikap keras atau mengontrol, tak jarang membatasi mimpi anak hanya demi menjaga ‘rasa aman’ mereka. Ditambah lagi, studi lain menunjukkan bahwa hidup dalam ketidakpastian ekonomi membentuk suasana rumah penuh ketakutan dan konflik.
Di lingkungan seperti ini, anak yang punya mimpi justru sering kesulitan menyuarakannya, takut dianggap terlalu muluk. Akibatnya, anak bisa merasa tidak layak bermimpi, tidak mampu, dan akhirnya...
Menyerah sebelum mencoba.
Main di Luar: Komunitas yang Digagas Para Guru untuk Mengajak Siswa Bermain Saat Liburan
Mimpi adalah Nutrisi Jiwa Anak
Yang sering dilupakan adalah bahwa mimpi bukan hanya cita-cita tinggi. Ia adalah bentuk energi batin. Anak-anak yang punya harapan dan tujuan cenderung lebih kuat menghadapi tantangan hidup.
Dalam sebuah studi psikologi perkembangan terbaru, dijelaskan bahwa dukungan emosional dari orang tua bukan harta yang paling berpengaruh terhadap daya tahan mental anak dalam menghadapi tekanan hidup.
Menariknya, mimpi juga memberi ruang untuk anak berkembang secara otak dan emosi. Dalam sebuah ulasan ilmiah terbaru, menekankan bahwa kemiskinan bukan hanya tentang kekurangan materi.
Namun, juga kondisi yang secara biologis dapat menghambat perkembangan otak anak, terutama area seperti korteks dan hippocampus yang berperan dalam regulasi emosi dan pembelajaran.
Legenda Arca Totok Kerot di Kediri Jawa Timur, Kisah Raksasa Jelmaan Dewi Surengrana
Jadi, Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?
- Dukung meskipun tak selalu mengerti
Tidak semua orang tua memahami dunia impian anak. Namun, cukup dengan berkata “ibu ayah dukung kamu” sudah bisa jadi kekuatan besar.
- Fokus pada usaha, bukan hasil
Anak perlu tahu bahwa yang dinilai bukan hasil akhirnya saja, tetapi keberaniannya mencoba.
- Cari komunitas pendukung
Banyak komunitas orang tua atau lembaga pendidikan yang menyediakan ruang untuk diskusi dan belajar tentang pola asuh sehat.
- Jaga kesehatan mental diri sendiri
Ketika orang tua terlalu lelah dan penuh tekanan, mereka akan sulit menjadi pendengar yang baik. Merawat diri juga bentuk cinta untuk anak.
Setiap anak berhak bermimpi. Miskin bukan alasan untuk membunuh harapan. Justru, dalam keluarga yang penuh keterbatasan, mimpi bisa menjadi satu-satunya harta yang menyelamatkan.
Ketika orang tua mulai mendampingi mimpi anak, bukan membatasinya, di situlah perubahan dimulai. Dan siapa tahu, mimpi anakmu adalah satu-satunya jalan keluar dari siklus kemiskinan yang selalu menjadi ketakutan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News