Indonesia merupakan negara yang kaya akan alam dan keragaman budaya. Sastra lisan merupakan salah satu contoh dari keragaman budaya yang dimiliki Indonesia. Adapun bentuk dari sastra lisan yaitu bermacam-macam tergantung ciri khas yang dimiliki di setiap daerah.
Menurut Rahmawati (2014) sastra lisan merupakan kesusastraan yang diwariskan secara turun temurun dan disebarkan melalui lisan ke lisan.
Di Kabupaten Karawang, tepatnya Kecamatan Cilamaya Kulon, terdapat sebuah sumur peninggalan bersejarah yang dikenal sebagai Sumur Gede. Cerita rakyat di baliknya tidak hanya menjadi ciri khas nama desa, tetapi juga menjadikan lokasi sumur ini dikeramatkan hingga kini.
Namun sangat disayangkan, masih banyak masyarakat Karawang yang tidak mengetahui adanya sastra lisan di daerah ini. Simak artikel ini sampai selesai untuk mengetahui sejarah dan nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Sumur Gede.
Sejarah Cerita Rakyat Sumur Gede
Pada zaman dahulu kala, masyarakat di daerah Sumur Gede didominasi oleh keturunan Tionghoa. Kemudian datang seorang Wali Allah yang bernama Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk menyebarkan agama Islam di tempat ini hingga akhirnya, sebagian besar memeluk agama Islam. Tetapi, dikarenakan beliau harus menyelesaikan tugas di tempat yang lain, ia menugaskan kepada Aki dan Nini untuk tinggal dan menjaga Sumur Gede.
Aki dan Nini dengan penuh kegigihan menjalankan amanah tersebut. Mereka melayani berbagai tujuan orang yang datang, mulai dari belajar agama hingga mandi keberkahan di sumur yang mereka bangun—Sumur Aki dan Sumur Nini. Keduanya dikenal sebagai sesepuh tempat ini yang berjuang siang malam demi keselamatan anak-cucunya.
Suatu ketika datanglah seorang anak muda keturunan Tioghoa bernama Kian Chin ke tempat persinggahan Aki dan Nini untuk belajar agama Islam dan ingin menjadi muridnya. Kemudian dengan penuh pertimbangan, Aki dan Nini mengangkat Kian Chin menjadi muridnya dengan syarat dirinya memeluk agama Islam.
Selain itu, ia juga dilantik sebagai pemimpin (pangarti) dengan nama Ki Haji. Sumur Gede pun menjadi pusat pengajaran Islam seperti rutin membuka pengajian, dzikir, dan tawasulan, .
Namun, tidak lama kemudian Ki Haji menghilang misterius, meninggalkan Sumur Gede. Kekosongan itu sempat diisi sebentar oleh Pangeran Papak, lalu dilanjutkan oleh Ki Bantal (yang ternyata adalah Kian Chin/Ki Haji yang ingkar janji dan meninggalkan murid-muridnya). Ki Bantal melakukan tapa mempersembahkan baktinya kepada banyak orang
Pada puncaknya, tepatnya saat bulan puasa ia mencari air, tetapi tidak ada yang memberinya hingga akhirnya, ia menyumpah serapahi bahwa di daerah Sumur Gede airnya akan asin hingga 7 turunan.
Akibat pengingkaran dan sumpah serapah tersebut, ia menerima teguran dan berubah wujud menjadi batu. Dari kisah ini, Sumur Gede menjadi simbol perjalanan spiritual, amanah, dan konsekuensi dari ingkar janji.
Cerita tersebut penulis dapatkan langsung dari teks asli yang diperoleh dari seorang Kuncen Sumur Gede. Kemudian, penulis mendapat kesempatan untuk mewawancarai langsung, mengklarifikasi terkait benar atau tidaknya sumpah serapah itu dan dari hasil wawancara, beliau mengatakan bahwa benar di daerah Sumur Gede selama 7 turunan tidak mendapatkan air tawar, tetapi sekarang kutukan tersebut sudah hilang dan air di daerah ini sudah kembali normal.
Selanjutnya, ia juga mengatakan bahwa setiap hari Selasa, Kamis ataupun Jum’at Kliwon di daerah Sumur ini rutin melaksanakan tawasulan.
Baca juga: Ritual Nembang, Wujud Penghormatan Masyarakat Sembalun kepada Dewi Anjani dalam Legenda Gunung Rinjani
Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Cerita Rakyat Sumur Gede
1. Nilai Agama dan Dakwah
Cerita rakyat Sumur Gede menonjolkan penyebaran Islam oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim yang kemudian diteruskan oleh Aki dan Nini, serta merepresentasikan proses spiritual dan keislaman Kian Chin atau Ki Haji, hingga pada akhirnya Sumur Gede menjadi pusat pengajaran agama Islam.
2. Nilai Amanah dan Tanggung Jawab
Nilai amanah dan tanggung jawab sangat terlihat pada penggambaran tokoh Aki dan Nini yang mendaptkan tugas oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim yakni dengan sepenuh hati menjalankan amanah dan tanggung jawabnya untuk melayani masyarakat dan mengajarkan agama Islam.
3. Nilai Konsekuensi dan Hukum Karma
Reperesentasi dari konsekuensi dan hukum karma terjadi ketika Ki Bantal (Ki Haji/Kian Chin) dikutuk menjadi batu akibat ingkar dengan pengajaran Islam yang seharusnya ia bisa meningkatkan keimanan di bulan puasa. Tetapi justru, menyumpah serapahi hingga air di daerah sekitar menjadi asin selama 7 turunan. Hal ini tentu menjadi peringatan tentang pentingnya menjaga lisan dan tanggung jawab spiritual.
Baca juga: Legenda Asal Usul Desa Dayeuh Manggung di Garut Jawa Barat yang Menjadi Gerbang ke Gunung Cikuray
4. Nilai Warisan Budaya
Secara keseluruhan, cerita Sumur Gede menunjukkan adanya nilai warisan budaya seperti menjadi situs keramat yang dihormati, mencerminkan kepercayaan tradisional dan kearifan lokal dalam menghargai sumber daya alam. Ritual tawasulan rutin serta kepercayaan akan keberkahan airnya menunjukkan bahwa nilai-nilai ini terus dilestarikan dan diyakini oleh masyarakat.
Maka dengan demikiaan, cerita rakyat Sumur Gede ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga amanah, tanggung jawab spiritual, dan kearifan lokal yang terus hidup salah satunya melalui tradisi seperti tawasulan. Mari kita terus hargai dan lestarikan sastra lisan yang berkembang di tempat sekitar agar nilai-nilai yang terkadung menjadi pedoman bagi generasi mendatang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News