menyelami bulan suro waktu penuh tradisi yang bernuansa magis di budaya jawa - News | Good News From Indonesia 2025

Menyelami Bulan Suro: Waktu Penuh Tradisi yang Bernuansa Magis di Budaya Jawa

Menyelami Bulan Suro: Waktu Penuh Tradisi yang Bernuansa Magis di Budaya Jawa
images info

Masyarakat Indonesia, terutama suku Jawa, baru saja menyambut kedatangan bulan Suro pada 26–27 Juni 2025. Bulan ini berasal dari penanggalan kalender Jawa yang sebenarnya memiliki kesamaan dengan bulan Muharam pada kalender Hijriah. Oleh karena itu, penanggalan di antara keduanya bertepatan satu sama lain.

Saat memasuki bulan Suro, masyarakat Jawa memiliki beragam bentuk tradisi yang rutin dilaksanakan di berbagai daerah, baik secara individu maupun kelompok. Meskipun tata caranya berbeda-beda, tradisi tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama: untuk memberikan rasa hormat kepada berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di bulan ini.

Sering kali tradisi-tradisi tersebut dikaitkan dengan hal berbau mistis oleh masyarakat. Ini kemungkinan besar karena bulan Suro dianggap sebagai waktu yang sakral dan penuh dengan nuansa magis. Mengapa demikian? Yuk, simak berbagai hal tentang bulan Suro di bagian berikut ini!

Awal Mula Bulan Suro dan Tradisinya

Berdasarkan catatan sejarah, bulan Suro merupakan hasil dari penyesuaian antara kalender Jawa dengan Hijriah. Penamaannya pun berasal dari bahasa Arab, yakni asyura yang berarti 'sepuluh', merujuk pada tanggal 10 Muharam. Nama tersebut disesuaikan dengan bahasa Jawa sehingga menjadi Suro.

Berbagai tradisi yang ada di bulan Suro, terutama pada tanggal satu, berawal dari zaman Kerajaan Mataram. Pada abad ke-16, kerajaan dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613–1645) yang ingin menyatukan rakyatnya agar tidak terpecah belah karena agama. Inilah salah satu alasan utama dilakukannya penyesuaian antara kalender Jawa dengan Hijriah. Lalu, ditetapkanlah 1 Suro sebagai hari pertama dalam kalender Jawa yang menandakan tahun baru.

Beberapa tradisi dilakukan atas perintah dari Sultan Agung, di antaranya, mengaji, ziarah, haul, berdoa, kirab, dan lain-lain. Semenjak itu, masyarakat secara turun-temurun rutin melakukan tradisi karena sudah menjadi bagian dari kebiasaan mereka.

Baca Juga: Ragam Tradisi Malam Satu Suro: Sakral dan Penuh Makna

Mengapa Dianggap sebagai Bulan yang Bernuansa Magis?

Bagi orang Jawa, bulan Suro adalah saat yang tepat untuk memperbaiki dan menyucikan diri. Hal ini berkaitan dengan bulan Muharam dalam kalender Hijriah yang juga melarang manusia untuk melakukan perbuatan tidak baik. Karena kedua bulan tersebut sejatinya merujuk pada waktu yang sama, maka ketentuan dan makna yang melekat padanya pun serupa.

Selain itu, dalam kepercayaan Jawa, bulan Suro diyakini sebagai waktu ketika dunia manusia dengan dunia gaib saling bersinggungan. Konon, makhluk dari dunia gaib sangat aktif mengganggu dan menghasut manusia yang lengah untuk melakukan hal buruk. Maka dari itu, manusia disarankan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terhindar dari gangguan-gangguan tersebut.

Berbagai Tradisi yang Ada di Bulan Suro

Ragam tradisi yang ada di bulan Suro sangat bervariasi sesuai dengan kebiasaan dan budaya yang ada di masing-masing daerah.

Di Keraton Yogyakarta, salah satu tradisi yang dijalankan adalah Mubeng Beteng, yaitu prosesi mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh masyarakat di belakangnya. Saat menjalaninya, masyarakat dilarang untuk berbicara dengan tujuan untuk merenungi perbuatan masing-masing sebagai bentuk refleksi.

Sementara itu, di Keraton Surakarta, pengiringan benda-benda pusaka juga dilakukan. Yang berbeda adalah kalau iring-iringan di Keraton Surakarta, barisan dipimpin oleh kerbau albino (biasa lebih dikenal dengan kebo bule) yang berjumlah lima ekor. Sebelum ritual dijalankan, kerbau dimandikan dengan berbagai macam bunga dan wewangian agar bersih saat dikeluarkan dari kandangnya.

Di Keraton Cirebon, dilakukan pembacaan babad Cirebon yang diikuti dengan acara doa bersama dan ziarah kubur. Babad ini berisi tentang sejarah berdirinya tempat tersebut dan perjuangan dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati. Di luar rangkaian acara utama, momen yang paling dinanti masyarakat adalah menikmati bubur Suro yang disajikan di kawasan sekitar keraton.

Pantangan yang Perlu Dijauhi

Masyarakat Jawa percaya bahwa banyak pantangan di bulan Suro yang apabila dilakukan akan membawa kemalangan. Pantangan yang paling populer adalah dilarang untuk menggelar pesta atau hajatan, seperti pernikahan, khitanan, dan syukuran sepanjang bulan ini. Sebab, Suro dianggap sebagai bulan yang tepat untuk menyepi dan berdoa, bukan untuk kemeriahan.

Masyarakat juga meyakini pantangan lain, seperti melakukan perjalanan jauh, keluar larut malam, pindah rumah, bangun rumah, dan menghindari konflik antarsesama. Pada waktu ini, memang manusia dianjurkan untuk mengesampingkan hal-hal duniawi dan mengutamakan pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Baca Juga: Grebeg Suro, Warisan Budaya Penuh Spiritualitas dan Kearifan Lokal

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

GA
FS
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.