Di era digital yang serba cepat, akses informasi tak lagi jadi kendala. Namun, fenomena baru yang muncul justru membuktikan bahwa kelimpahan informasi juga dapat membawa risiko, salah satunya adalah doomscrolling.
Istilah ini merujuk pada kebiasaan menggulir berita negatif atau konten memicu kecemasan dalam waktu lama di media sosial. Fenomena ini semakin marak di kalangan Generasi Z kelompok yang lahir dan besar dengan gawai dan internet di genggaman.
Doomscrolling menimbulkan berbagai dampak psikologis, sosial, dan bahkan akademik yang perlu dicermari lebih dalam.
Doomscrolling sebagai Gaya Hidup Baru
Menurut jurnal berjudul The Age of Doom Scrolling - Social Media's Attractive Addiction (2023), Doomscrolling bukan lagi sekadar aktivitas sesaat, maelainkan mulai membentuk gaya hidup baru.
Artikel tersebut menjelaskan bahwa media sosial dirancang untuk membuat pengguna tetap terlibat, dan konten negatif justru memiliki daya tarik emosional lebih tinggi.
Bagi Gen Z, hal ini menjadi jebakan tersendiri karena algoritma media sosial akan terus menampilkan konten sejenis dan memicu rasa cemas, marah, atau takut.
Platfrom seperti TikTok, X, dan Intagram memfasilitasi pengalaman tersebut melalui fitur "infinite scroll" dan "recommended feed" berbasis algoritma. Akibatnya, pengguna merasa sulit melepaskan diri dari kebiasaan tersebut bahkan saat menyadari dampak negatifnya.
Ini menjadi bentuk kecanduan yang tidak disadari dan sering kali dinormalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak Emosional dan Psikologis
Penelitian Brief Exposure to Social Media During the COVID-19 Pandemic: Doomscrolling Has Negatif Emotional Consequences (2021) merupakan bahwa hanya dengan waktu singkat doomscrolling, seseorang dapat mengalami peningkatan emosi negatif seperti rasa cemas, takut, dan sedih.
Sebaliknya, ketika peserta penelitian disajikan konten posiitif atau empatik, kondisi emosional mereka cenderung membaik.
Artinya, konten yang dikonsumsi dalam waktu singkat saja bisa memengaruhi suasan hati. Jika dilakukan terus-menerus, efek ini bisa berlipat ganda dan membentuk suasana mental yang negatif.
Dalam konteks ini, doomscrolling bukan hanya memengaruhi mood sesaat, tetapi juga menjadi faktor yang memperbesar risiko stres kronis, insomnia, dan bahkan depresi.
Dampak Akademik dan Kognitif pada Mahasiswa
Jurnal Brief Exposure to Social Media During the COVID-19 Pandemic: Doomscrolling Has Negatif Emotional Consequences (2021) menyebutkan bahwa kebiasaan ini berdampak langsung pada konsentrasi belajar, penurunan memori jangka pendek, dan ganggunan tidur yang merusak siklus produktivitas mahasiswa.
Banyak mahasiswa mengaku sulit berkonsentrasi dalam pembelajaran daring akibat distraksi doomscrolling di sela kegiatan belajar.
Kondisi ini diperparah dengan ilusi multitasking yang mendorong pelajar untuk membuka media sosial saat belajar. Padahal, alih-alih meningkatkan efisiensi, ini justru menurunkan daya tangkap materi.
Jurnal ini menegaskan bahwa doomscrolling bisa menjadi hambatan serius dalam proses pendidikan tinggi jika tidak dikontrol dengan baik.
Solusi Mengatasi Doomscrolling:
Buat Batasan Waktu Konsumsi Media Sosial
Gunakan fitur screen time atau digital wellbeing untuk membatasi durasi penggunaan aplikasi tertentu, terutama di malam hari.Terapkan Digital Detox Berkala
Luangkan waktu tanpa gawai, seperti satu hari tanpa media sosial dalam seminggu, untuk menenangkan pikiran dan mengembalikan fokus.Konsumsi Konten Positif dan Edukatif
Aktif memilih akun atau halaman yang menyajikan informasi inspiratif, edukatif, dan membangun mental health awareness.Gunakan Teknik Mindfulness dan Self-Awareness
Latih kesadaran diri saat berselancar di dunia maya sadari emosi negatif yang muncul dan segera hentikan saat mulai merasa cemas atau lelah.
Korelasi dengan Oversharing dan Kehilangan Privasi
Studi berjudul Fenomena Doomscrolling terhadap Informasi Oversharing di Medial Sosial pada Mahasiswa UNP (2024) mengaitkan doomscrolling dengan fenomena oversharing, yakni perilaku membagikan informasi pribadi secara berlebihan.
Penelitian tersebut menunjukan bahwa mahasiswa yang sering doomscroll cenderung untuk memposting emosi negatif atau pengalaman pribadi, sebagai bentuk pelampiasan atau validasi diri.
Fenomena ini menjadi dilema antara keinginan untuk jujur dan keterbukaan dengan risiko kehilangan privasi. Di saat yang sama, publikasi masalah pribadi dalam konteks yang salah juga dapat memicu cyberbullying atau manipulasi informasi.
Ini menunjukkan bahwa doomscrolling tidak hanya berdampak secara internal, tetapi juga memperbesar kerentanan di ruang sosial digital.
Kontes Pandemi dan Pengutan Fenomena Doomscrolling
Jurnal Doomscrolling, Monitoring and Avoiding: News Use in COVID-19 Pandemic Lockdown (2021) menyoroti bahwa krisis global seperti pandemi memperkuat kebutuhan akan informasi. Namun, kebutuhan ini sering bergeser menjadi obsesi negatif terhadap berita-berita buruk. Hal ini akan menjadi akar dari doomscrolling yang makin parah selama lockdown COVID-19.
Banyak pengguna yang merasa "terpaksa" mengetahui setiap perkembangan terbaru sebagai bentuk pengendalian terhadap situasi yang tidak pasti. Akan tetapi, ironisnya, makin banyak informasi negatif yang diterima, justru makin besar rasa tidak aman dan tekanan psikologis yang dirasakan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News