Deretan kertas warna-warni menempel rapi di sebuah banner bertuliskan “Anti Bullying” di halaman SDN Perumnas 3 Yogyakarta, Jumat (20/6/2025).
Di atasnya, tertulis berbagai ungkapan jujur dari anak-anak terkait dengan perilaku bullying, seperti stop membuli, jangan membuli, bahkan ada yang bercerita pernah dijambak, dikatai, hingga merasa takut bermain karena diejek.
Semua ditulis sendiri oleh tangan mungil mereka dalam kegiatan kampanye anti-bullying. Program ini diinisiasi oleh Tim Mitra Garda, mahasiswa FIKOM, Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) bersama Komunitas Ibu Peduli Bullying.
Kampanye ini tidak hanya memberikan penjelasan terkait dengan apa itu bullying, jenis-jenisnya, cara mencegah, dan mengatasi bullying saja. Namun, juga menghadirkan pendekatan partisipatif dan empatik.
Anak-anak diajak untuk menuliskan perasaan mereka yang selama ini terpendam terkait perilaku perundungan di sekolah. Tulisan-tulisan itu lalu ditempel di sebuah banner besar sebagai simbol keberanian mereka untuk bersuara.
Tak hanya itu, siswa-siswi juga diajak bermain peran (role play) sebagai pelaku bullying, korban, dan saksi mata. Dalam simulasi ini, mereka belajar mengenali perasaan masing-masing posisi dan memahami dampaknya.
Ada yang tertawa, ada yang mulai diam dan berpikir, bahkan ada yang minta maaf kepada teman karena pernah melakukan hal serupa. Banyak dari mereka mulai menyadari bahwa temannya di sekolah adalah korban bullying. Namun, tidak pernah berani untuk bercerita secara langsung, baik itu kepada teman, guru, hingga keluarganya.
Maka ajakan untuk menulis keluh kesah terkait perundungan dan bermain simulasi peran adalah solusi yang tepat untuk memberikan edukasi terkait dengan bullying sejak bangku sekolah dasar.
Kegiatan edukatif ini menghadirkan Septi Ambarwati, S.Pd., M.Si., founder Komunitas Ibu Peduli Bullying dan Bullying Corner, sebagai narasumber utama.
Dalam sesi penyuluhan, beliau mengatakan bahwa banyak korban perundungan memilih diam karena takut atau malu.
Anak Korban Bully? Mengganggu Aktivitas Dan Berdampak Pada Kesehatan Mental PTSD
“Tidak semua anak berani mengatakan bahwa mereka di-bully. Maka, jika tidak mampu bicara langsung, tulislah. Menulis adalah bentuk awal keberanian,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan pentingnya perhatian terhadap kondisi emosional anak.
“Perasaan korban bullying itu seperti balon yang terus ditiup. Bila tidak dilepaskan, lama-lama akan meletus. Begitu pula dengan emosi yang terus dipendam, bisa berubah menjadi stres atau ledakan amarah,” jelasnya.
Kampanye ini juga merupakan bagian dari tugas implementasi mata kuliah 'Kampanye Public Relations' yang diampu oleh Meinardus Leu Eha, M.A. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan,
“Sekarang ini adalah zamannya kolaborasi. Mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga harus terlibat langsung dalam menyuarakan isu-isu sosial di masyarakat.”
“Kami ingin anak-anak tahu bahwa mereka tidak sendiri. Ada banyak orang yang peduli dan siap mendengarkan. Lewat kegiatan ini, kami berharap siswa lebih berani mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan tahu bagaimana mencari pertolongan saat dibutuhkan,” ujar Ketua pelaksana kegiatan, Rizki Ananda Yamrohimi.
Pihak sekolah memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan ini. Kepala SDN Perumnas 3 Yogyakarta, Akhyar Nasukha, S.Pd., turut mengapresiasi kolaborasi mahasiswa dan komunitas sosial dalam mengedukasi siswa.
Kegiatan berlangsung dengan suasana hangat dan interaktif. Siswa diajak berdiskusi ringan, bermain sambil belajar, hingga menulis ekspresif sebagai sarana meluapkan emosi dengan aman. Para guru juga terlibat aktif mendampingi siswa sepanjang acara.
Dengan semangat “Bersama Melawan Bullying”, kampanye ini tidak hanya memberikan edukasi, tetapi juga menanamkan nilai empati, keberanian, dan kepedulian sejak dini.
Sebuah langkah kecil yang diharapkan berdampak besar bagi masa depan generasi bangsa indonesia yang lebih aman dan inklusif.
Bully di Pelajar dan Mahasiswa, Pendidikan Karakter Perlu Dikuatkan
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News