Kawan GNFI, pasti sudah tidak asing dengan nama Pondok Pesantren Modern Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Selain dianggap sebagai pondok terbaik di Indonesia, ternyata pondok ini juga memiliki sejarah panjang sebelum menjadi pondok modern seperti sekarang.
Pada pembahasan kali ini, kita akan menelusuri sejarah berdirinya pondok pesantren modern Gontor sampai sistem pengajaran modern yang dijalankan pesantren ini. Mari kita simak pembahasan berikut!
Sejarah Pondok Pesantren Gontor Pra-modern
Apakah Kawan GNFI tahu, ternyata pondok pesantren ini memiliki hubungan dengan Pondok Pesantren Tegalsari yang didirikan oleh Kiai Ageng Hasan Bashari. Pondok pesantren ini begitu mashyur dan terdapat banyak tokoh besar yang pernah menjalani pendidikan di pesantren ini seperti Pakubuwana II, Raden Ngabehi Ronggowarsito, dan H.O.S Tjokroaminoto.
Baca juga: Pesantren Tegalsari, Tempat Penggemblengan Diponegoro hingga Tjokroaminoto
Mengutip web resmi Pondok Pesantren Modern Gontor, pada masa selanjutnya, di Pondok pesantren Tegal Sari, terdapat satu santri bernama Sulaiman Jamaluddin yang dipercaya untuk mendirikan pondok pesantren di daerah Gontor yang terletak ± 3 km dari Tegalsari.
Pondok Pesantren Gontor ini selanjutnya berkembang dan maju ketika dipimpin oleh anak dari Kiai Sulaiman Jamaluddin bernama Kiai Archam Anom Besari. Namun, eksistensi pondok hanya sampai pada generasi ketiga di bawah Kiai Santoso Anom Besari karena kurangnya kaderisasi. Lama kelamaan santri yang belajar di pondok pesantren ini semakin sedikit. Eksistensi pondok ini diakhiri saat wafatnya Kiai Santoso Anom Besari di tahun 1918.
Namun, sejarah akhir Pondok Pesantren Gontor pra-modern ini bak pepatah: “Mati satu tumbuh seribu”.
Sepeninggal Kiai Santoso Anom Besari, istrinya fokus pada pendidikan anak-anaknya. Tiga putra dari tujuh anak-anaknya dipersiapkan untuk menjadi pembangkit pondok pesantren Gontor. Berdasarkan web resmi Pondok Pesantren Modern Gontor, ketiganya bernama Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu) yang kelak akan dikenal dengan trimurti (tiga serangkai).
Ketiga anaknya dikirim ke berbagai sekolah untuk menimba ilmu sebagai bekal untuk melanjutkan pondok pesantren Gontor.
Kelahiran Pondok Pesantren Modern Gontor
Imam Zarkasyi, anak bungsu dari Kiai Santoso Anom Besari, menimba ilmu di Normal School Padang. Saat itu, Imam Zarkasyi belajar langsung kepada Mahmud Yunus, salah satu tokoh pendidikan pada masa itu.
Dengan belajar kepada Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi memahami pentingnya metode dalam pembelajaran di sekolah. Hal inilah yang nantinya akan menjadi sistem utama bagi pengajaran di Pondok Pesantren Modern Gontor yaitu guru yang mengajar di Gontor perlu menguasai metode belajar dan pengajaran.
Berdasarkan buku Kepemimpinan Transformatif Pendidikan Islam: Gontor, Kemodernan, dan Pembelajaran Bahasa, guru yang akan mengajar di Pondok Pesantren Modern Gontor merupakan lulusan terbaik dari pondok dan melanjutkan berkuliah di Institut Studi Islam Darussalam (ISDI)—salah satu perguruan tinggi lanjutan Ponpes Gontor.
Kebangkitan pondok pesantren Gontor terjadi pada 20 September 1926. Tiga serangkai kakak-beradik ini, ternyata sudah melakukan analisis tentang model seperti apa pondok pesantren yang akan mereka bangkitkan.
Mereka menjadikan beberapa lembaga pendidikan besar di dunia seperti Universitas Al-Azhar, Pondok Syanggit di Mauritania, Universitas Muslim Aligarh India, dan perguruan Santiniketan di India sebagai inspirasi bagi kebangkitan pesantren Gontor.
Dari Universitas Al-Azhar mereka belajar tentang kepemilikan wakaf yang sangat besar yang digunakan untuk beasiswa dan pembiayaan aktivitas di universitas. Secara bertahap, sistem dari Universitas Al-Azhar ini diterapkan di Pondok Pesantren Modern Gontor.
Tahun 1951, pesantren telah memutuskan jika harta yang dimiliki pesantren sepenuhnya menjadi milik umat Islam yang diwakili badan wakaf. Hal ini dilakukan agar tidak ada konflik gugatan harta dari keturunan pendiri pondok pesantren karena pengelolaan sudah diurus oleh badan wakaf untuk kepentingan pondok pesantren.
Sedangkan dari Pondok Syanggit, pondok Gontor mempelajari tentang urgensi pelayanan kepada santri dengan sepenuh hati. Dari Universitas Muslim Aligarh India, pondok mengadopsi sistem pendidikan modern di mana mahasiswa dibekali dengan pengetahuan umum dan agama. Sistem pendidikan inilah yang sampai saat ini diterapkan di pondok Gontor.
Tidak hanya dari lembaga Islam, pondok Gontor juga mengadopsi unsur positif dari tokoh agama Hindu, Rabindranath Tagore, yang mendirikan perguruan Santiniketan. Pondok Gontor ingin mengadopsi kesederhanaan dan kedamaian yang diterapkan di perguruan Santiniketan.
Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor
Selain ilmu agama, keutamaan pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor yaitu pada penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dalam keseharian, guru dan santri harus berkomunikasi menggunakan kedua bahasa tersebut.
Namun, bagi santri baru diperkenankan menggunakan bahasa daerah masing-masing selama tiga bulan sembari mempelajari bahasa Arab dan Inggris. Pengumuman yang disiarkan di pondok juga menggunakan bahasa asing.
Apakah kawan GNFI penasaran, mengapa pondok pesantren ini getol membiasakan santrinya berbahasa asing? Hal ini berhubungan dengan peristiwa yang disaksikan langsung oleh Kiai Ahmad Sahal saat Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya tahun 1926.
Pada kongres itu dinyatakan perwakilan dari Indonesia akan diutus untuk Muktamar Islam Sedunia di Mekkah. Perwakilan itu berarti setidaknya harus menguasai bahasa Inggris dan Arab, tapi ternyata dari peserta kongres tidak ada yang menguasai dua bahasa sekaligus.
Dari pengalaman inilah, Kiai Ahmad Sahal ingin pondok pesantren modern Gontor bisa menjadi tempat bagi santri untuk mengembangkan kemampuan bahasanya dan kelak dapat digunakan di kemudian hari.
Selain pembiasaan bahasa asing, pada masa kepemimpinan Imam Zarkasyi, santri yang dinyatakan lulus ujian akhir juga harus mengabdi dan memberi manfaat di masyarakat selama dua tahun. Maka dari itu, terdapat pelajaran ekstra berupa pelajaran etika, keterampilan wirausaha, kerajinan tangan, dll.
Kurikulum yang diterapkan di pondok ini berorientasi pada pendalaman ilmu agama dan ilmu umum dengan seimbang dan menyeluruh.
Diharapkan santri lulusan pondok ini tidak hanya paham tentang ilmu agama tetapi juga bisa mengimbangi pengetahuan umum yang ada. Santri lulusan pondok Gontor juga diharapkan dapat memberi manfaat dengan kemampuan yang sudah diasah di pondok pesantern ini.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News