gelar datuak di sumatra barat - News | Good News From Indonesia 2025

Gelar Datuak dan Persilangan Politik Tradisional-Modern di Sumatra Barat

Gelar Datuak dan Persilangan Politik Tradisional-Modern di Sumatra Barat
images info

Di Sumatra Barat, gelar adat seperti Datuak tak lagi sekadar simbol budaya, ia menjelma menjadi kekuatan politik. Diperoleh melalui prosesi adat yang ketat, gelar ini memberikan pengaruh sosial yang kuat dan kini kerap dimanfaatkan dalam arena politik elektoral.

Bagi sebagian politisi lokal, gelar Datuak adalah jalan pintas menuju legitimasi di mata pemilih yang masih menjunjung tinggi nilai adat. Begini penjelasan lengkapnya.

Baca juga: Potret Sumatra dalam Catatan Penjelajah Asing di Masa Lalu

Tradisi dan Demokrasi yang Beririsan

Masyarakat Minangkabau menganut sistem sosial matrilineal yang berpadu dengan nilai-nilai Islam. Semboyan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” mencerminkan kuatnya hubungan antara adat dan agama.

Dalam struktur pemerintahan tradisional berbasis nagari, gelar Datuak menempatkan seseorang dalam posisi strategis sebagai pengambil keputusan, penjaga norma, hingga pemimpin komunitas.

Namun, kehadiran sistem demokrasi modern tidak serta-merta menghapus peran-peran tradisional ini. Justru, politik lokal di Sumatra Barat menjadi ruang di mana dua corak ini, politik adat dan politik elektoral berkelindan.

Gelar adat membawa legitimasi moral, sementara mekanisme demokrasi memberi legitimasi prosedural. Ketika keduanya digabungkan, seorang kandidat memiliki daya tawar politik yang sangat tinggi.

Persilangan ini juga membuka ruang bagi pembentukan identitas politik yang khas. Pemimpin adat yang terjun ke politik tidak sekadar membawa visi pembangunan, tetapi juga simbol budaya.

Mereka kerap menggunakan narasi pelestarian adat sebagai bagian dari kampanye, membangun citra sebagai sosok yang berakar dan berwibawa. Di sisi lain, masyarakat pemilih juga masih memaknai adat sebagai tolok ukur nilai dan kelayakan seorang pemimpin.

Datuak sebagai Strong Local Man

Fenomena ini tampak nyata dalam Pilkada Sumatra Barat. Rumah Pemilu mencatat bahwa pada 2015, sebanyak 21 dari 41 pasangan calon kepala daerah menyandang gelar adat. Beberapa menang telak.

Contohnya, Sutan Riska Amrizal dan Amrizal di Pilkada Dharmasraya yang meraih 63% suara, atau Gusmal di Kabupaten Solok, yang meski berstatus narapidana korupsi, tetap menang karena memiliki gelar Datuak Rajo Lelo.

Pilkada 2020 pun menunjukkan kecenderungan serupa. Mahyeldi (Datuak Marajo), Ramlan (Datuak Nan Basa), Suharti (Datuk Putiah), dan lainnya mencatat perolehan suara yang signifikan.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa pemilih Sumbar belum sepenuhnya bergerak ke arah rasionalitas elektoral berbasis program. Identitas adat masih memegang kendali dalam pembentukan preferensi politik.

Namun, di sinilah tantangannya. Tidak semua yang menyandang gelar adat memiliki kapasitas sebagai pemimpin administratif modern.

Ketika gelar adat lebih diutamakan daripada rekam jejak dan integritas, maka demokrasi lokal bisa terjebak dalam romantisme kultural. Legitimasi tradisional yang seharusnya melengkapi kapasitas politik, justru berisiko menggantikannya.

Antara Penghormatan dan Akuntabilitas

Menggabungkan adat dan demokrasi tidak bisa dilakukan secara serampangan. Prinsip demokrasi modern menekankan pada akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi setara.

Sementara itu, struktur adat cenderung hierarkis dan eksklusif. Gelar Datuak dengan simbolisme “Ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah” berpotensi memperkuat elitisme politik berbasis status keturunan.

Pemerintah daerah perlu mengupayakan regulasi yang mampu menjembatani dua sistem ini. Misalnya, mendorong pendidikan politik berbasis nilai lokal, memperkuat peran masyarakat sipil dalam memantau kandidat berlatar adat, dan memastikan partai politik tidak hanya merekrut tokoh adat, tetapi juga memverifikasi kapasitas mereka secara objektif.

Lebih dari itu, penting untuk menciptakan ruang publik agar gelar adat tidak disakralkan secara membabi buta, melainkan dimaknai sebagai komitmen terhadap etika kepemimpinan yang berakar pada keadilan sosial dan tanggung jawab publik.

Baca juga: Sumatra Punya 1.240 GW Energi Terbarukan, Bisa Jadi Lumbung Energi Hijau Indonesia?

Penutup

Gelar Datuak adalah contoh nyata bahwa politik lokal Indonesia tak pernah bisa dilepaskan dari kekuatan budaya. Ia menjadi representasi kuat dari konsep strong local man di ranah Minang tokoh yang dihormati bukan hanya karena elektabilitasnya, tetapi juga karena kedalaman budayanya.

Namun, jika gelar ini hanya menjadi kendaraan elektoral tanpa kontrol terhadap kualitas kepemimpinan, maka kita sedang menyaksikan demokrasi yang dikendarai oleh simbol, bukan substansi. Tradisi dan demokrasi bisa berjalan berdampingan asal tidak meniadakan satu sama lain.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

ZS
MA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.