Era telah berkembang pesat, keterbukaan diri terhadap pasangan pun ikut berkembang pula. Bukan hanya karena teknologi yang membuat komunikasi lebih mudah, keterbukaan yang ditawarkan membuat batas antara hubungan sehat dan tidak sehat semakin kabur.
Hubungan tanpa relasi, misalnya. Tidak sedikit muda-mudi terjebak dalam hubungan tanpa status (HTS) dan tidak lagi merasakan hubungan erat secara emosional maupun romansa. Sehingga, munculah ambivalensi, dua perasaan yang bertentangan dalam satu situasi.
Terlibat dalam hubungan romantis yang tidak pasti pun berdampak pada kesehatan mental. Mengapa hal demikian dapat terjadi? Mari kita kulik bersama, yuk, Kawan GNFI.
Baca Juga: Membangun Jembatan Batin: Komunikasi sebagai Pilar Kesehatan Mental di Era Digital
Hubungan Tanpa Status (HTS) atau Situationship
Salah satu penyebab terjadinya kerenggangan emosional dalam suatu hubungan adalah terjadinya hubungan tanpa status (HTS) atau situationship.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Inforadar Disway pada Februari tahun 2025 lalu, sebanyak 60% Gen Z lebih nyaman menjalin HTS atau situationship. Wah, cukup banyak ya, Kawan GNFI.
Melansir dari Verywell Mind, situationship merupakan bentuk hubungan romantis yang tidak memiliki kejelasan arah atau komitmen jelas. Meskipun terdapat keterlibatan emosional, kasih sayang, interaksi seksual, dan waktu bersama, tetapi tingkat komitmennya cukup rendah.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Inversi.id, sebanyak 51% Gen Z menganggap hubungan pacaran pada umumnya (berpacaran dengan komitmen eksplisit) sudah usang, serta 42% lainnya merespon lebih memilih hubungan yang berjalan natural tanpa perlu menetapkan label khusus.
Para pasangan yang menjalani HTS atau situationship tetap merasa dekat secara emosional dan fisik, tetapi merasa bingung akan masa depan hubungan itu sendiri. Inilah yang menciptakan ambivalensi emosional perasaan dari cinta dan benci, bahagia dan sakit hati, merasa nyaman dan merasa sakit hati dalam satu paket.
Mengapa Hubungan Romantis Bisa Menjadi Rumit?
Salah satu teori penting dalam sudut pandang psikologi yang menjelaskan mengapa menjalin hubungan tanpa status dapat melukai diri ialah Attachment Theory. Teori ini menjelaskan bahwa pola hubungan kita saat dewasa banyak dipengaruhi oleh hubungan dengan orang tua saat kecil, Kawan GNFI.
Ketika tumbuh dengan kelekatan yang aman (secure attachment), seseorang akan cenderung membangun hubungan sehat dan stabil. Namun, apabila tumbuh dengan perasaan cemas atau ingin menghindar (anxious atau avoidant), perasaan takut ditinggal serta takut terlalu dekat dengan seseorang akan menyelimuti hubungan yang sedang terjalin.
Hal ini diperkuat oleh penelitian Çarıkçı‑Özgül dan Işık yang dipublikasi dalam jurnal Current Psychology tahun 2024, menunjukkan bagaimana attachment anxiety dan avoidance dikaitkan dengan tingkat kecemasan seseorang, serta ketidakmampuan mentoleransi ketidakpastian (intolerance of uncertainty) memperparah efek negatif attachment pada kesehatan mental.
Artinya, seseorang yang memiliki gaya attachment tidak aman bukan hanya menghadapi ketakutan emosional, tetap dikhawatirkan memiliki perasaan berlebihan terhadap ketidakpastian dalam dinamika hubungan. Menjalin hubungan yang tidak pasti membuat ketegangan dari segala aspek, seperti munculnya keinginan untuk medekatkan diri, tetapi selalu cemas tentang apa yang akan terjadi.
Dampaknya Pada Kesehatan Mental
Ambivalensi emosional saat menjalin HTS bukan sekadar perasaan bingung, dampaknya untuk kesehatan mental juga cukup serius. Seseorang yang berada dalam hubungan seperti ini cenderung mengalami kecemasan tinggi, stres berkepanjangan, hingga gejala depresi.
Beberapa studi penelitian menunjukkan bahwa hubungan yang ambivalen dapat meningkatkan detak jantung dan tekanan darah karena tubuh terus-menerus berada dalam keadaan 'siaga', serta membuat seseorang tidak mengetahui kapan akan disayang atau disakiti. Hal lain yang dapat memperparah kondisi ini ialah rendahnya kematangan emosional.
Saat Kawan GNFI berada dalam situasi ini, maka menarik batas saja akan terasa sulit, susah mengambil keputusan untuk pergi, dan kerap menoleransi perilaku yang tidak sehat dengan dalih cinta.
Membangun Hubungan Emosional dan Romantis yang Sehat
Tidak semua hubungan ambivalen harus berakhir. Agar dapat memahami diri sendiri dan mengenali polanya, Kawan GNFI dapat menerapkan Triangular Theory of Love oleh Robert Sternberg.
Sternberg menyatakan bahwa cinta memiliki tiga komponen, yakni keintiman (intimacy), gairah (passion), dan komitmen (commitment). Berikut ini 4 langkah yang dapat Kawan GNFI terapkan guna menghindari ambivalensi emosi.
1. Tingkatkan Self-awareness
Kawan GNFI dapat mulai dari mengenalI diri tentang gaya attachment. Apakah termasuk seorang yang cemas dan takut ditinggal, atau justru sulit membuka diri karena takut tersakiti. Setelah itu, penting untuk membangun komunikasi terbuka dan jujur dengan pasangan. Jika sejak awal tidak ada kejelasan tentang arah hubungan, ketidakpastian akan menjadi bom waktu.
2. Memperkuat Komitmen Secara bertahap
Kawan GNFI tidak harus langsung menjalin hubungan serius, misalnya ke jenjang pernikahan. Penting untuk memiliki kesepakatan tentang arah relasi agar hubungan berjalan baik. Jangan hanya berpegang pada hubungan tanpa komitmen.
3. Hubungi Pihak Profesional
Jika hubungan terasa terlalu melelahkan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional, ya, Kawan GNFI. Terapi psikologis, terutama yang berbasis attachment, dapat membantu mengurai akar konflik dan membangun ulang pola hubungan yang lebih sehat.
4. Membangun Kepercayaan Diri
Yang tak kalah penting adalah membangun kepercayaan diri sendiri. Relasi yang sehat tidak datang dari dua orang yang saling melengkapi kekurangan, tetapi dari dua individu yang utuh dan sadar akan kebutuhan emosional masing-masing.
Baca juga: Cinta, Harapan, dan Perjalanan: Menyusuri Jejak Kaba Anggun Nan Tongga dalam Denyut Budaya Minangkabau
Adapun menjalin hubungan romantis diharapkan menjadi ruang yang aman. Kenyataannya, masih banyak yang terjebak dalam HTS dan menimbulkan kekhawatiran, perasaan yang bertentangan, hingga melukai orang-orang yang kita sayangi.
Kehadiran ambivalensi adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu disadari, bukan diabaikan. Dengan demikian, mari membangun hubungan yang lebih sehat untuk mencintai tanpa kehilangan diri sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News