Perbedaan data angka statistik kemiskinan antara Bank Dunia (World Bank) dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menimbulkan tanda tanya. Data yang diterbitkan Bank Dunia menyebut, 68,3 persen penduduk Indonesia berada di bawah standar kemiskinan di antara negara-negara berpendapatan menengah ke atas pada 2024.
Sementara itu, data BPS menyebutkan, angka kemiskinan di Indonesia hanyalah sebesar 8,57 persen. Perbedaan yang sangat jauh ini membuat masyarakat bertanya-tanya, manakah data riil yang yang dapat dijadikan acuan dari keduanya.
Bank Dunia dalam keterangannya melalui worldbank.org menyebut, angka garis kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat. Sementara itu, Bank Dunia menerangkan jika angka garis kemiskinan internasional yang mereka terbitkan sesuai untuk pemantauan kemiskinan global untuk membandingkan Indonesia dengan negara lain atau dengan standar global.
“Garis kemiskinan nasional dan statistik yang diterbitkan BPS adalah yang paling tepat. Garis kemiskinan internasional yang diterbitkan Bank Dunia sesuai untuk pemantauan kemiskinan global dan membandingkan Indonesia dengan negara lain,” tulis Bank Dunia.
Internasional Bank Dunia dan BPS: Memahami Perbedaan Angka Kemiskinan Indonesia
Data BPS Dijadikan Acuan untuk Kebijakan Nasional
Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Dedek Prayudi, dalam keterangannya di PCO Voice menjelaskan, kedua data yang dirilis Bank Dunia dan BPS bersifat saling melengkapi. Namun, ia menekankan bahwa data yang dirilis Bank Dunia tidak dapat menangkap profil kemiskinan di sebuah negara.
“Tentu saja harga beras di Indonesia dengan di Amerika suda berbeda. Harga kopi di Indonesia dengan di Australia juga suda berbeda. Nah, data Bank Dunia tidak bisa menangkap ini. Apa yang menjadi kelemahan di data Bank Dunia justru menjadi kekuatan di data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik,” jelas Dedek.
Ia menegaskan, data BPS menggunakan dua komponen. Pertama, komponen garis kemiskinan makanan, yakni 2.100 kalori. Orang yang tidak dapat mengkonsumsi 2.100 kalori masuk ke dalam kategori miskin.
Kedua, komponen garis kemiskinan nonmakanan. Komponen ini mencakup akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan tempat atau hunian yang layak.
"Dua komponen ini kemudian digabung dan dikonversi menjadi nominal menggunakan harga di Indonesia. Maka lahirlah kemudian garis kemiskinan di Indonesia yang dikeluarkan atau dirilis BPS. Maka kemudian mereka yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan dianggap miskin, dan kita keluar dengan angka 8 persen,” imbuh Dedek.
Sebagai tambahan, Bank Dunia menggunakan tiga pendekatan atau standar garis kemiskinan global, yaitu:
- US$2,15 kapita per hari untuk mengukur kemiskinan ekstrem.
- US$3,65 per kapita per hari untuk negara berpendapatan menengah ke bawah.
- US$6,85 per kapita per hari untuk negara menengah ke atas.
Ketiganya dinyatakan dalam US$ PPP atau purchasing power parity—metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dolar yang dipakai bukan kurs nilai tukar yang berlaku saat ini, melainkan paritas daya beli.
Jumlah yang diperoleh Bank Dunia itu didapat dari estimasi tingkat kemiskinan lewat standar US$6,85 PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara menengah ke atas—di mana Indonesia termasuk di dalamnya—bukan berdasarkan kebutuhan dasar Indonesia secara spesifik.
Dalam keterangannya, Bank Dunia juga menyarankan agar negara-negara di dunia menghitung National Poverty Line atau garis kemiskinan nasional mereka dengan karakteristik dan kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.
Memberantas Akar Masalah Kemiskinan di Indonesia, Ini Solusi yang Diberikan Pakar UNAIR
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News