Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia adalah sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. Melalui laman resmi BPS, dijelaskan jika data ini diperoleh melalui pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN).
Tingkat atau garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS ini dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan perhitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak terkait efektivitas kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Pakar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si., menjelaskan bahwa beberapa program, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BNPT) belum cukup untuk memberikan dampak jangka panjang pada kemandirian masyarakat miskin. Menurutnya, program sejenis ini bersifat amal karitatif.
“Sepanjang program yang dikembangkan pemerintah itu bersifat amal karitatif seperti bantuan tunai dan sejenisnya, maka upaya pengurangan kemiskinan tidak akan efektif. Program seperti itu hanya memperpanjang nafas, bukan memberdayakan masyarakat miskin untuk mandiri,” jelasnya dalam keterangan resmi.
Alih-alih memberikan bantuan berupa uang atau sejenisnya, Bagong menyarankan adanya pemberdayaan yang dapat diberikan pada masyarakat miskin. Baginya, substansi program jauh lebih penting dibandingkan sekadar “nama” atau memberikan bantuan.
Kabar Baik! Berdasarkan Data Terbaru BPS, Tingkat Penduduk Miskin di Jawa Barat Turun 0,38 Persen
Pemberdayaan Nyata untuk Bantu Masyarakat Miskin
Masalah lumrah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia salah satunya adalah rendahnya literasi keuangan masyarakat. Hal ini justru sering kali diabaikan dalam perumusan kebijakan. Bagong menilai, pemberdayaan yang nyata dan konkret masih minim.
Tak hanya itu, dibanding “hanya” memberikan bantuan seperti PKH dan BNPT, Bagong menyarankan untuk memberikan aset produksi pada masyarakat. Hal ini disebut Bagong akan dapat membantu menaikkan pendapatan masyarakat miskin secara signifikan.
“Pemberian modal usaha memang penting, tapi lebih efektif jika diberikan dalam bentuk aset produksi. Contohnya, tukang becak yang diberi becak sendiri atau penjahit yang diberi mesin jahit, itu akan menaikkan pendapatan mereka secara signifikan,” terangnya.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya kebijakan sistematis yang menyentuh aspek sosial, pendidikan, dan pemberdayaan komunitas secara struktural. Bagong menyebut, hanya 20 persen dari kemiskinan yang berkaitan dengan faktor ekonomi, karena sisanya menyangkut pada aspek sosial, pendidikan, informasi, bahkan diskriminasi struktural.
“Pendekatan pengentasan kemiskinan tidak boleh semata-mata ekonomi. Harus ada kebijakan yang sistematis dan menyentuh aspek sosial, pendidikan, dan pemberdayaan komunitas secara struktural,” tegasnya.
Terakhir, ia turut menyarankan pemerintah untuk mendorong lahirnya lebih banyak pelaku usaha mikro yang tangguh dan efisien. Ini dinilai perlu untuk menciptakan lingkungan usaha yang adil. Pada akhirnya, ketahanan ekonomi masyarakat kelas bawah perlahan akan menguat.
“Bila hanya fokus pada pertumbuhan usaha besar, maka orang miskin dipaksa berkompetisi dengan kelas menengah ke atas, dan itu tidak adil,” tutupnya.
Sukses Keluarkan 28 Ribu Warga dari Kemiskinan Ekstrem, Apa itu Program Pena Kemensos?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News