menelisik patung patung historis jakarta warisan identitas atau sekadar hiasan kota - News | Good News From Indonesia 2025

Menelisik Patung-Patung Historis Jakarta, Warisan Identitas atau Sekadar Hiasan Kota?

Menelisik Patung-Patung Historis Jakarta, Warisan Identitas atau Sekadar Hiasan Kota?
images info

Di tepian trotoar Jakarta, patung-patung berdiri layaknya puisi yang membeku, menegakkan monumen waktu yang merangkum laju peradaban, semangat, dan bisikan sejarah dalam diam. Senyap tapi memikat, mereka memanggil kita untuk berhenti, menengok masa lalu, dan menakar makna setiap tempa perunggu atau baja yang mencengkeram lantai kota.

Berangkat dari pelabuhan kecil di pinggir Kali Ciliwung pada abad ke-14 hingga metropolis modern, Jakarta menyimpan ratusan patung dan monumen yang merentang narasi panjang perjuangan dan nasionalisme.

Namun hanya terdapat beberapa monumen yang tercatat sebagai cagar budaya dan wajib dikonservasi, sedangkan setengah dari rusuk sejarah kota terancam kehilangan ruh dalam kebisingan visual yang terus menjalar seolah Jakarta mengukir memorinya sendiri, tapi belum selesai merawat nafas setiap prasasti.

Masing-masing patung memiliki narasi dan simbol unik. Patung Selamat Datang, setinggi sekitar 10 meter, dibuat untuk menyambut delegasi Asian Games IV pada 1962, wajahnya menggambarkan keramahan Indonesia saat itu. Dirancang oleh Henk Ngantung dan Edhi Sunarso, ia berdiri di Bundaran HI sebagai pijakan sejarah sekaligus simbol keterbukaan. 

Lalu hadir Patung Dirgantara di Pancoran, hasil rancangan Edhi Sunarso tahun 1964-1966, sebagai lambang semangat penerbangan dan visi kedirgantaraan Indonesia sekaligus penghormatan terhadap kemampuan bangsa melampaui batas langit.

Konon katanya, Soekarno menjual mobil pribadinya untuk mendanai patung tersebut, menjadi sebuah wujud pengorbanan nyata bagi simbol nasional. Di tengah silih bergantinya laju lalu lintas, Patung Dirgantara bertahan sebagai pengingat bahwa mimpi besar berasal dari keberanian, bukan sekadar konstruksi kota.

Masih di pusat kota, Patung Jenderal Sudirman menyapa dengan tegas di Jalan Sudirman mengabadikan wibawa panglima besar dalam semangat kepahlawanan yang tak padam. Bersanding dengan Patung Pemuda Membangun di ujung Jalan Sudirman, tinggi menjulang 25 meter dan berwujud pemuda sedang memegang api pembangunan, patung ini mengajak generasi muda untuk berkarya, bukan hanya berkecimpung dalam lalu lintas megapolitan saja.

Tak kalah menarik adalah Tugu Tani atau Patung Pahlawan, sebuah karya Matvey Manizer dan Ossip Manizer dari Uni Soviet tahun 1963. Patung seorang petani dengan caping dan senapan, serta figur perempuan di sampingnya, menegaskan bahwa perjuangan kemerdekaan bukan monopoli tentara, tetapi juga rakyat Indonesia.

Tulisan Soekarno di kaki tugu "Hanya bangsa yang menghargai pahlawannya bisa menjadi bangsa besar" menggaungkan nilai penghormatan tanpa sekat ideologi.

Selain patung-patung yang lebih terkenal, Jakarta memiliki puluhan monumen cagar budaya lainnya, di Sawah Besar berdiri Monumen Pembebasan Irian Barat, potret perlawanan melawan kolonialisme Belanda; sementara kawasan Sudirman–Thamrin dipenuhi patung yang menjadi "saksi bisu" pertumbuhan kota megah dan global. 

Patung MH Thamrin di ujung utara Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada pahlawan kemerdekaan asal Betawi. Diresmikan pada 2012 atas inisiatif Gubernur DKI Jakarta yang menjabat pada saat itu, Bapak Fauzi Bowo.

Patung setinggi 4,5 meter ini menampilkan Thamrin dalam setelah jas dan berpeci, menunjukkan kecerdasan, kejernihan pandangan, dan kebijaksanaan yang melekat pada sosok Muhammad Husni Thamrin yang mencerminkan karakter manusia Indonesia sejati dan menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Selain memperkuat identitas budaya Betawi, patung ini menjadi simbol peran Thamrin dalam perjuangan kemerdekaan dan keterwakilan rakyat kecil.

Meski berdiri gagah, banyak yang kehilangan informasi kontekstual seperti papan narasi atau teknologi interaktif untuk mengenalkan kisah di balik karya seni ini.

Dalam kota yang riuh oleh transformasi modernitas, patung-patung ini rawan terlindas arus pencitraan visual kontemporer. Ketika halte di Bundaran HI dikritik menghalangi atau menutupi patung Selamat Datang, hal itu menjadi pertanda bahwa modernitas bisa menutupi makna sejarah. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang memadukan konservasi fisik dan narasi sejarah agar maknanya tetap hidup.

Beberapa upaya positif tengah digalakkan, DPRD DKI Jakarta mendorong konservasi sebagai bagian program wisata budaya lokal, untuk membumikan kesadaran cagar budaya. Teknologi seperti QR code, pameran digital, augmented reality, atau tur sejarah di ruang terbuka dapat mengusung kembali "jiwa" patung-patung tersebut ke hadapan publik, menjadikannya bagian dari museum kota terbuka, bukan hanya objek foto atau hiasan estetis.

Biarkanlah kita kembali membawa puisi bahwa patung-patung itu bukan sekadar perunggu di tengah keramaian Jakarta, mereka adalah puisi sejarah yang menanti pembacanya. Menyentuh garis-garis wajah mereka, kita merajut dialog antara masa lalu dan masa kini, menghormati pengorbanan, dan meresapi identitas. 

Merawat patung adalah merawat memori secara kolektif. Memaknai ulang keberadaan mereka adalah menghargai akar, dan meneguhkan bahwa kota bukan hanya gedung tetapi juga ingatan. Semoga Jakarta terus merawat monumen-monumen kecil nan besar ini, agar puisi sejarah tak pernah bisu di tengah laju metropolis.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.