bincang buku trilogi kartini memaknai emansipasi lewat kumpulan surat - News | Good News From Indonesia 2025

Bincang Buku “Trilogi Kartini”, Memaknai Emansipasi Lewat Kumpulan Surat Kartini

Bincang Buku “Trilogi Kartini”, Memaknai Emansipasi Lewat Kumpulan Surat Kartini
images info

Gedung A19 Universitas Negeri Malang (UM) menjadi saksi geliat diskusi progresif tentang warisan pemikiran Raden Ajeng Kartini. Bertajuk “Bincang Buku Trilogi Kartini”. Acara yang digelar di Ruang Seminar 309 ini dihadiri oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, selaku penyusun buku Trilogi Kartini, bersama sejarawan Prof. Dr. Hariyono, M.Pd. selaku pengulas, dan dimoderatori Kepala Perpustakaan UM, Nurenzia Yannuar, Ph.D.

Kegiatan ini dihadiri peserta dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, mahasiswa, pegiat literasi, hingga perwakilan perpustakaan daerah.

Acara dibuka dengan sambutan Wakil Rektor III UM, Prof. Dr. Ahmad Munjin Nasih, yang menekankan pentingnya merefleksikan pemikiran Kartini sebagai inspirasi inovasi sosial. Dilanjutkan penyerahan cenderamata dan buku Trilogi Kartini oleh masing-masing pihak. 

Acara dilajutkan dengan pembacaan fragmen surat-surat Kartini oleh Elwiq dan Asyrofi Al Kindi. Inti dari fragmen surat-surat tersebut berisi kegelisahan Kartini terhadap tradisi feodal yang membelenggu perempuan. Oleh karena itu, Kartini bertekad untuk mendobrak belenggu tersebut, walau jalan yang dilaluinya tidak mudah.

Perlu diketahui juga, per 11 April 2025, UNESCO menetapkan surat-surat dan arsip Kartini sebagai Memory of the World (MOW).

Prof. Wardiman, yang juga pernah menjabat sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1993–1998), lantas memaparkan proses panjang penyusunan Trilogi Kartini. Buku setebal 1.500 halaman ini terbit dalam tiga jilid.

Salah satu buku Trilogi Kartini
info gambar

Jilid pertama buku ini berisi terjemahan 179 surat dan 11 artikel Kartini dari bahasa Belanda ke Indonesia, dilengkapi analisis kontekstual. Isinya pemikiran Kartini tentang pendidikan, kebebasan, dan peran perempuan. Buku ini memiliki tebal 926 halaman.

Jilid kedua menyajikan biografi mendalam berdasarkan karya Siti Soemandari Soeroto, diperkaya refleksi Prof. Wardiman tentang cita-cita Kartini yang belum sepenuhnya terwujud. Buku kedua ini sekaligus untuk mempertegas sejarah Kartini yang selama ini sering dianggap penuh unsur mitos. Buku ini memiliki tebal 336 halaman.

Sementara jilid ketiga mengaitkan pemikiran Kartini dengan isu kesetaraan gender masa kini, seperti partisipasi perempuan di bidang ekonomi, kesehatan, dan politik. Buku ini juga memuat inspirasi Kartini terhadap emansipasi perempuan. Buku ini memiliki tebal 166 halaman.

Memahami Kartini Lewat Arsip dan Surat-Surat yang Menjadi Bagian Memory of the World UNESCO

Menurut Prof Wardiman, Kartini muda itu sudah berpikir melampaui zamannya. Ia tak hanya mempertanyakan tradisi, tetapi juga menawarkan solusi. Ketertarikan Prof wardiman pada sosok Kartini muncul setelah membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang memantik kekaguman akan visi sang tokoh. 

Prof. Hariyono, Rektor UM, menambahkan bahwa keunggulan buku ini terletak pada bahasa yang mudah dicerna. Menurutnya, Prof. Wardiman tidak hanya menerjemahkan surat-surat Kartini yang berbahasa Belanda, tetapi berhasil membuatnya menjadi narasi yang mengalir. Ia berharap trilogi ini tak hanya menjadi bacaan, tetapi juga pemicu aksi nyata untuk kesetaraan gender.

Berbagai pertanyaan dilontarkan oleh peserta saat sesi tanya jawab. Mulai dari masa lalu Kartini, spiritualitas Kartini, relevansi pemikiran Kartini di masa kini, hingga isu feminisme di masa kini. 

Menanggapi hal ini, Prof. Wardiman menekankan bahwa esensi perjuangan Kartini adalah keberanian untuk mempertanyakan tradisi. Jangan terjebak romantisasi masa lalu, yang penting adalah bagaimana kita mengontekstualisasikan semangatnya.

Di akhir acara, Prof. Wardiman berpesan kepada para generasi muda, terutama perempuan, untuk terus bergerak dan berkontribusi sesuai bidang yang disukai.

Refleksi Pentingnya Pendidikan bagi Perempuan bersama Raden Ajeng Kartini Djojadhiningrat

Lewat bincang buku ini, Kartini mengajarkan bahwa literasi bukan hanya soal membaca, tetapi juga tentang keberanian menuliskan perubahan. Dua jam diskusi ini menjadi bukti bahwa lebih dari seabad setelah wafatnya, api pemikiran Kartini masih menyala—menantang perempuan untuk terus bergerak.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.