NovelBelenggu karya Armijn Pane merupakan karya sastra modern Indonesia yang menggambarkan kompleksitas kehidupan batin manusia, terutama dalam kaitannya dengan pergolakan antara nilai tradisional dan modernitas.
Novel ini bisa dikaji menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud untuk menganalisis konflik batin para tokoh utama, yaitu Sukartono, Sumartini (Tini), dan Rohayah (Yah).
Dalam teori Freud, kepribadian manusia terbagi menjadi tiga unsur: id (dorongan bawah sadar), ego (pengatur realitas), dan superego (nilai moral). Ketiganya berperan dalam membentuk dinamika batin dan perilaku tokoh, yang tergambar jelas dalam konflik batin mereka sepanjang novel.
Novel Belenggu sangat berbeda dari novel-novel se-zamannya. Karena, sekitar tahun 1940-an, biasanya, kebanyakan karya pada waktu itu bertemakan nasionalisme, menekankan kawin paksa, atau perjuangan sosial.
Namun, Belenggu menampilkan kisah rumah tangga modern yang kompleks dan pernikahan tanpa cinta. Sukartono, seorang dokter, menikahi Sumartini karena merasa cocok secara intelektual, namun tanpa fondasi cinta yang kuat.
Mereka hidup dalam keterasingan emosional, saling sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hingga kemudian hadir sosok Rohayah, perempuan masa lalu Sukartono yang membuatnya merasa lebih nyaman dan damai. Hal inilah yang menjadi sumber konflik batin utama dalam novel ini.
Id dalam diri Sukartono sebagai sumber dorongan naluriah atau bawah sadar akan hasrat atau keinginan untuk dicintai dan dihargai sebagai seorang laki-laki, ego sebagai penengah antara hasrat dan realitas, dan superego sebagai internalisasi nilai moral dan sosial. Dalam kasus Sukartono, keinginannya untuk kembali menjalin hubungan dengan Rohayah mencerminkan dominasi id.
Namun, peranannya sebagai suami dan dokter yang dihormati membatasi tindakannya karena tekanan superego, sehingga ego berada dalam dilema besar. Namun, ego tersebut menang, sehingga ia berselingkuh sebagai jalan untuk memenuhi atau mencari jalan akan hal yang diinginkan.
Sumartini, sebagai perempuan modern, digambarkan memiliki kepribadian yang memberontak terhadap nilai konvensional. Ia lebih menunjukkan dominasi id melalui keinginan untuk bebas dan aktif di ruang publik, sementara perannya sebagai istri seringkali tidak terpenuhi secara emosional. Rohayah, di sisi lain, lebih mampu menyeimbangkan keinginannya dengan nilai sosial, menjadikannya simbol dari ego yang relatif stabil.
Struktur dalam Novel Belenggu
Tema yang diangkat dalam novel ini adalah cinta segitiga yang penuh konflik, berpusat pada pergulatan emosional tiga tokoh utama. Tema ini bersifat tradisional karena menyentuh isu universal, yaitu cinta, pernikahan, dan pengkhianatan, namun dikemas secara modern dengan pendekatan psikologis mendalam.
Tokoh utama terdiri dari Sukartono, Tini, dan Rohayah. Sukartono digambarkan sebagai dokter yang penyabar namun emosional, Tini sebagai perempuan intelektual dan progresif, dan Rohayah sebagai sosok yang penuh perhatian dan pengertian. Tokoh-tokoh tambahan seperti Hartono, Nyonya Rusdio, dan Mardani memperkuat atmosfer sosial dalam cerita.
Latar tempat dalam novel meliputi rumah Sukartono, hotel, rumah Rohayah, dan bazaar amal, yang semuanya mendukung konflik psikologis yang berkembang. Misalnya, rumah Sukartono mencerminkan hubungan rumah tangga yang dingin dan tak harmonis, sedangkan rumah Rohayah menjadi tempat di mana Sukartono merasa damai.
Latar waktu seperti pagi dan malam memperkuat suasana hati dan kondisi batin para tokoh. Sedangkan latar sosial menggambarkan masyarakat Batavia pada masa kolonial akhir, di mana norma tradisional mulai digugat oleh nilai-nilai modern seperti emansipasi perempuan. Kutipan dari Tini yang menyanggah perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya ketegangan sosial yang mencerminkan transformasi budaya saat itu.
Plot dalam Belenggu disusun secara kompleks dengan konflik kelas atas yang berkembang dari kekecewaan dalam pernikahan, munculnya sosok pihak ketiga, hingga akhirnya keputusan untuk berpisah. Klimaks terjadi saat Yah menyadari bahwa cinta Sukartono terhadapnya tidak sepenuhnya utuh, yang membuatnya memilih mundur. Sukartono pun akhirnya kehilangan dua perempuan dalam hidupnya. Tini pergi ke Semarang dan Yah pergi ke New Caledonia.
Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga mahatahu, memungkinkan narator menggambarkan konflik batin masing-masing tokoh secara mendalam, termasuk ketakutan, kebingungan, dan rasa bersalah yang tak diungkap secara eksplisit oleh tokoh.Pesan moral dalam Belenggu sangat kuat.
Novel ini menunjukkan bahwa manusia sering kali terbelenggu oleh angan-angan, harapan yang tak realistis, dan nilai-nilai yang tidak mampu dihadapi secara rasional. Baik Sukartono, Tini, maupun Rohayah sama-sama menderita akibat ketidakmampuan mereka dalam mengharmoniskan keinginan pribadi dan norma sosial. Hal ini menjadi cerminan dari kondisi batin manusia yang rapuh dan mudah goyah di tengah tekanan sosial dan moral yang bertentangan.
Dari segi psikologi tokoh, Sukartono menunjukkan hasrat id melalui keinginannya bersama Rohayah, tapi tertekan oleh superego yang membuatnya merasa bersalah. Egonya gagal menyeimbangkan kedua tekanan tersebut, sehingga ia terombang-ambing dalam kebingungan.
Sumartini pun demikian, id-nya tampil melalui keberaniannya menolak norma, ego-nya muncul dalam ledakan amarah dan keputusan emosional, dan akhirnya superegonya membimbingnya untuk melepaskan Sukartono dengan lapang dada. Rohayah, meski mengalami konflik, menunjukkan kedewasaan dengan memilih mengalah dan tidak menjadi penyebab perpecahan rumah tangga Sukartono.
Simpulan
Novel Belenggu tidak sekadar menampilkan kisah cinta segitiga, tetapi lebih dalam dari itu, menyuarakan krisis identitas dan konflik psikologis yang lahir dari benturan nilai tradisional dan modernitas. Pendekatan psikoanalisis Freud juga sangat relevan untuk menelaah dinamika kejiwaan dalam karya sastra, karena memungkinkan pembaca memahami tokoh sebagai manusia seutuhnya—dengan kelemahan, dorongan tak sadar, serta perjuangan menghadapi realitas.
Belenggu menjadi potret batin manusia modern Indonesia yang sedang mencari keseimbangan antara peran pribadi, sosial, dan moral. Novel ini pun tetap relevan dibaca hingga kini, karena menggambarkan problematika universal yang masih terus dihadapi masyarakat kontemporer.
Selamat terbawa ke dalam cerita dengan adanya pergolakan batin dan kritik sosial yang dialami Sukartono. Dr. Sukartono berkata, "ada kalanya kata yang manis lemah lembut lebih mujarab dari obat mana juapun. Sebab, tidak selamanya hari hujan, besok akan panas juga." "Jangan dengan angkara murka, hendaklah dengan sabar juga.
Sabar, bukan tanda kalah, melainkan tanda seimbang, tanda sama tengah yang sejati, pangkal mula kehidupan yang benar. Ialah salah satu keadaan pikiran dan selidik yang sebaik-baiknya, hampir tiada bergerak, dalam menjalankan ikhtiar. Itulah perbuatan semangat suci yang seutama-utamanya, waktu yang sebaik-baiknya untuk berdaya upaya".
Ini adalah kutipan favorit saya. Jangan lewatkan kesempatan untuk mengetahui apakah Belenggu layak masuk dalam daftar bacaan wajib kawan GNFI!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News