ketika j 10 membungkam rafale genderang abad asia telah ditabuh - News | Good News From Indonesia 2025

Ketika J-10 Membungkam Rafale: Genderang Abad Asia Telah Ditabuh

Ketika J-10 Membungkam Rafale: Genderang Abad Asia Telah Ditabuh
images info

Sebuah insiden di langit Asia Selatan pada 6 Mei 2025 menandai apa yang bisa jadi titik balik geopolitik, sebuah peristiwa yang dipastikan akan terus dianalisis di akademi-akademi militer dan forum-forum strategis global. Selama 25 menit yang menegangkan, sekitar 125 jet tempur dari India dan Pakistan terlibat dalam pertempuran udara masif, sebuah skala konfrontasi yang jarang terlihat di era modern, bahkan disebut sebagai yang terbesar sejak Perang Dunia II dari sisi jumlah pesawat dan kompleksitas operasi.

Namun, sorotan utama tertuju pada satu kejadian krusial: jatuhnya (setidaknya) sebuah jet tempur Rafale buatan Prancis oleh J-10CE, pesawat tempur generasi 4.5 Tiongkok yang sebelumnya tidak memiliki rekam jejak tempur. Rafale, perlu dicatat, adalah andalan Angkatan Udara Prancis, simbol kecanggihan teknologi pertahanan Eropa, dan telah diekspor ke berbagai negara termasuk India, serta dipesan oleh Indonesia. Reputasinya dalam misi jarak jauh, manuver, dan avionik tergolong begitu superior. Sebelum 6 Mei itu, Rafale belum pernah terkalahkan dalam pertempuran aktif. Dan dipercaya akan mempertahankan reputasi itu hingga dekade-dekade mendatang. 

Di sisi lain, J-10CE adalah produk Chengdu Aircraft Corporation (bagian dari AVIC), varian ekspor J-10C yang dilengkapi radar AESA (Active Electronically Scanned Array) dan sistem avionik modern. Kemenangan ini signifikan karena J-10CE menggunakan rudal udara-ke-udara PL-15 buatan Tiongkok, yang diklaim memiliki jangkauan hingga 300 km dan mampu bersaing dengan AIM-120D AS. Debut tempur J-10CE dengan menembak jatuh Rafale ini mengirimkan kejutan besar bagi kalangan analis militer Barat.

Insiden ini bukan sekadar berita, melainkan pesan tegas kepada dunia: dominasi udara bukan lagi milik eksklusif pesawat tempur buatan Barat (NATO) dan Russia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, sebuah pesawat tempur rakitan Asia, dengan radar, senjata, dan sistem elektronik buatan Asia, berhasil mengungguli ikon teknologi militer Barat dalam duel langsung. Ini bukan hanya kemenangan teknis; ini adalah pernyataan geopolitik yang substantif, meruntuhkan asumsi lama bahwa kekuatan udara superior hanya bisa dibangun oleh negara-negara G7.

Delapan dekade lalu, serangan Jepang ke Pearl Harbor secara fundamental mengubah doktrin militer dunia, menandai pergeseran dari dominasi kapal tempur ke era kapal induk dan kekuatan udara. Hari ini, insiden Rafale-J-10 berpotensi menjadi "Pearl Harbor" versi abad ke-21 untuk pergeseran kekuatan udara global, dengan Asia—khususnya Tiongkok—sebagai salah satu aktor penggeraknya. Ini bukan lagi tentang satu jet atau satu rudal, melainkan simbol pergeseran keseimbangan kekuatan global yang nyata.

Hampir bersamaan, pada awal tahun 2025, dunia teknologi dunia juga dikejutkan oleh startup AI asal Tiongkok, DeepSeek, yang merilis model bahasa besar (LLM) yang mampu bersaing langsung dengan GPT-4 OpenAI. Yang menarik, DeepSeek mencapainya dengan biaya hanya US$5,58 juta dan 2.000 GPU H800, jauh lebih efisien dibandingkan OpenAI (lebih dari US$100 juta dan 16.000 GPU H100). Model R1 mereka, dengan kapabilitas reasoning kompleks, dirilis secara terbuka (lisensi MIT). Dampaknya signifikan: saham NVIDIA anjlok, valuasi pasar tergerus lebih dari US$600 miliar, dan memicu pertanyaan serius: apakah pusat inovasi teknologi global benar-benar bergeser dari San Francisco ke Shanghai?

Apa yang terjadi di udara dan di server AI bukanlah anomali. Ini adalah bagian dari tren besar yang telah berkembang selama dua dekade terakhir: Asia bukan lagi sekadar "wilayah berkembang", melainkan pusat gravitasi baru dunia di berbagai bidang. McKinsey Global Institute memproyeksikan pada 2040 Asia akan menyumbang lebih dari 50% PDB dunia dan hampir 40% konsumsi global. Asia juga menjadi rumah bagi sepertiga perdagangan barang global, dengan 60% di antaranya terjadi secara intra-regional. Jakarta, Ho Chi Minh, dan Hyderabad kini adalah kandidat serius sebagai pusat ekonomi baru dunia.

Penting dicatat, Abad Asia ini tidak digerakkan oleh hegemoni tunggal, berbeda dengan abad ke-20 yang didominasi AS atau abad ke-19 oleh imperium Eropa. Abad Asia adalah sebuah tatanan multipolar yang saling melengkapi, ekosistem dinamis di mana kekuatan-kekuatan utama kawasan memainkan peran berbeda namun saling mengisi.

Tiongkok, misalnya, telah memposisikan diri sebagai jangkar logistik dan inovasi, terlihat dari Belt and Road Initiative dan dominasi paten global (sekitar 44% pada 2017). Perusahaan seperti Huawei, Tencent, dan Baidu adalah pemain global. Jepang dan Korea Selatan tetap vital sebagai pemasok teknologi tinggi dan aliran modal, dengan investasi signifikan di Asia Tenggara. Sementara itu, negara seperti Indonesia dan Vietnam menjadi bagian penting rantai pasok regional berkat tenaga kerja produktif, biaya kompetitif, dan pasar domestik yang besar. India berkontribusi dengan bonus demografi masif dan ekosistem teknologi yang agresif, dengan Bengaluru sebagai salah satu hub utamanya.

Tentu, dinamika ini tidak linier dan tanpa friksi. Asia adalah rumah bagi sejarah konflik perbatasan, ketegangan diplomatik, dan persaingan ekonomi. Ketegangan India-Tiongkok, klaim di Laut China Selatan, rivalitas Jepang-Korea Selatan, dan isu Taiwan adalah bagian dari lanskap regional yang kompleks.

Namun, justru dalam kompleksitas dan kompetisi inilah terbangun struktur kekuatan yang lebih fleksibel dan adaptif. Asia tidak dibentuk oleh keseragaman, melainkan oleh kemampuan negara-negaranya untuk menavigasi realitas yang berubah cepat seraya menjaga pertumbuhan dan stabilitas. Model multipolar ini menawarkan redundansi kekuatan dan daya tahan sistemik. Ketika satu negara mengalami tekanan, negara lain dapat menopang arus perdagangan kawasan, seperti terlihat saat perang dagang AS-Tiongkok justru menggeser sebagian produksi ke negara-negara Asia Tenggara.

Mekanisme "penyangga" ini memperkuat Asia dalam menghadapi ketidakpastian global, bukan hanya soal ekonomi dan militer, tetapi juga tentang bagaimana Asia secara kolektif mulai menata ulang arsitektur global, dari perdagangan intra-kawasan (60%), kolaborasi teknologi, mobilitas talenta, hingga diplomasi regional (ASEAN, RCEP, Indo-Pasifik).

Indonesia, sebagai bagian dari kawasan ini, tidak bisa hanya menjadi penonton. Kita memiliki aset: lokasi geografis strategis, populasi besar, bonus demografi, dan pasar digital dengan 215 juta pengguna internet. Modal ini memerlukan strategi, keberanian, dan kepemimpinan nasional yang jelas. Prinsipnya: Indonesia tidak boleh hanya menjadi "pasar terbesar di Asia Tenggara". Kita harus menjadi produsen, inovator, dan poros integrasi kawasan.

Maka, serangkaian prioritas nasional harus dieksekusi dengan presisi dan kecepatan. Pertama, akselerasi transformasi digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk Indonesia yang merupakan rumah bagi salah satu populasi pengguna teknologi digital terbesar di dunia. Ini berarti memobilisasi pendanaan skala besar, di mana instrumen investasi strategis seperti Danantara—yang kini telah operasional dan siap mengeksekusi berbagai inisiatifnya—memegang peran vital.

Langkah ini harus sejalan dengan penciptaan zona-zona ekonomi digital berdaya saing global di berbagai penjuru negeri, dari Medan hingga Makassar, sebagai inkubator inovasi masa depan. Kedua, kita perlu memimpin revolusi senyap di bidang sumber daya manusia: melahirkan jutaan talenta unggul yang tidak hanya adaptif terhadap perubahan, tetapi juga menjadi kreator dan inovator di era pasca-otomasi. Ini menuntut program pelatihan nasional yang masif dan terfokus pada kecerdasan artifisial (AI), otomasi, serta green economy, yang terintegrasi erat dengan kebutuhan riil industri melalui revitalisasi pendidikan vokasi secara menyeluruh.

Selanjutnya, Indonesia harus secara definitif mengukuhkan dirinya sebagai salah satu poros manufaktur utama di Asia, sebuah takdir geografis yang menunggu untuk direalisasikan sepenuhnya melalui optimalisasi keunggulan jalur pelayaran internasional kita. Ini bukan sekadar tentang partisipasi dalam rantai pasok global, melainkan tentang mencapai posisi dominan yang strategis.

Tidak kalah krusial, Indonesia mesti mengambil peran sentral sebagai arsitek stabilitas dan integrator ekonomi di kawasan. Diplomasi kita harus proaktif merajut kemitraan industri yang lebih dalam lintas Asia, berfungsi sebagai penengah yang kredibel dan dihormati dalam dinamika regional, sekaligus menjadi pionir dalam menggalang kolaborasi pendanaan untuk proyek-proyek transformatif, khususnya di sektor infrastruktur hijau yang berkelanjutan dan digitalisasi layanan publik yang inklusif.

Visi besar ini bukanlah utopia, melainkan sebuah cetak biru strategis yang menuntut keberanian kolektif dan eksekusi tanpa cela untuk diwujudkan. Abad Asia tidak akan menunggu undangan; ia sedang terbentuk, detik demi detik, dengan atau tanpa kita. Kalau kita menunggu, siap-siap saja semakin tertinggal jauh di belakang.

Insiden J-10 yang mengungguli Rafale dan terobosan fenomenal DeepSeek adalah penanda tegas bahwa roda sejarah tengah berputar dengan kecepatan yang tak terduga, membuka peluang sekaligus tantangan baru. Kini, Indonesia dihadapkan pada pilihan fundamental: menjadi penentu arah peradaban baru ini atau sekadar menjadi pengikut arus. Untuk menorehkan nama bangsa sebagai aktor utama yang membentuk dan diperhitungkan dalam babak baru sejarah global ini, kita harus berani menggoreskan narasi unik kita sendiri. 

Referensi

Chan, M. (2024, February 28). How did China’s J-10C match up to French Rafale in India-Pakistan aerial clash? South China Morning Post. Retrieved May 14, 2025, from https://www.scmp.com/news/china/military/article/3310004/how-did-chinas-j-10c-match-french-rafale-india-pakistan-aerial-clash

Eurasian Times Desk. (n.d.). Is it the end of the road for unchallenged supremacy of French Rafale jets with emergence of China’s J-20, J-10C & Pak’s J-10CE? Eurasian Times. Retrieved May 14, 2025, from https://www.eurasiantimes.com/is-it-the-end-of-the-road-for-unchallenged-supremacy/

Gramer, R., & Tamny, J. (2019, October 28). Has the world entered the ‘Asian Century’? And what does it mean? World Economic Forum. Retrieved May 14, 2025, from https://www.weforum.org/stories/2019/10/has-world-entered-asian-century-what-does-it-mean/

Modern Diplomacy. (2024, June 8). The Asian Century. Modern Diplomacy. Retrieved May 14, 2025, from https://moderndiplomacy.eu/2024/06/08/the-asian-century/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.