ai bukan lawan tapi kawan - News | Good News From Indonesia 2025

AI, Bukan Lawan tapi Kawan

AI, Bukan Lawan tapi Kawan
images info

Dari waktu ke waktu, teknologi berkembang dengan sangat dinamis. Kehadiran hal-hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, seperti kecerdasan buatan, bahkan terlihat seperti ancaman bagi manusia.

Kekhawatiran ini ada, karena kecerdasan buatan bisa bekerja jauh lebih cepat, nyaris nonstop, dengan hasil yang jauh lebih banyak. Teknologi satu ini juga dianggap menjadi solusi instan untuk berkreasi, sekalipun si kreator tidak cukup terampil dari segi kemampuan. 

Maka, tidak mengejutkan kalau kecerdasan buatan sering disebut sebagai musuh, khususnya bagi tenaga kerja manusia di sejumlah bidang, termasuk di industri kreatif. Dengan kinerja yang dianggap jauh lebih efisien dan hanya mogok jika benar-benar rusak (dari sudut pandang eksploitatif) teknologi yang juga dikenal dengan inisial AI ini memang bisa menjadi alternatif tenaga kerja yang menarik. 

Hanya saja, sudut pandang eksploitatif ini, sebenarnya masih belum relevan dengan perilaku umum di Indonesia, khususnya terkait pemanfaatan produk teknologi canggih secara berkelanjutan. Belum semuanya bisa merawat secara rutin dan teratur, apalagi menjaga performa alat berteknologi tinggi tetap awet dalam waktu lama.

Mengulik Sisi Unik Penamaan Menu Kuliner dan Interpretasi Bahasa

Jangankan AI, dalam hal menjaga performa ponsel tetap awet saja, belum semuanya bisa melakukan dengan baik. Bisa dibilang, sumber daya di Indonesia masih perlu waktu lebih banyak, sampai benar-benar bisa memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan secara maksimal. 

Hal lain yang masih jadi tantangan, datang dari segi biaya. Untuk membeli dan merawat secara rutin produk teknologi seperti ini, butuh biaya yang tidak sedikit. Kalau hanya ingin memiliki, tapi tidak mampu dan siap dari segi biaya, sebaiknya lupakan saja. 

Di sisi lain, pendekatan eksploitatif dalam penggunaan teknologi pada dasarnya sudah melenceng dari tujuan awal kehadiran teknologi itu sendiri, yakni sebagai alat bantu untuk manusia. Jadi, tidak mengejutkan kalau dampak negatif eksploitasi penggunaan kecerdasan buatan malah banyak dialami tenaga kerja manusia. 

Padahal, kalau dilihat lagi, teknologi, termasuk kecerdasan buatan, bisa sangat membantu, sepanjang difungsikan sebagai "kawan". Sebagai contoh, fitur teks prediktif pada keyboard bisa membantu kita mengetik lebih cepat di ponsel.

Pada perkembangan terkini, fitur kecerdasan buatan di mesin pencari Google bahkan mampu menghadirkan ringkasan informasi, lengkap dengan tautan artikel referensi. Tak perlu lagi berlama-lama mencari sampai puluhan halaman, karena semua poin informasi sudah ada di halaman pertama.

Warna-warni Podcast Sepakbola Indonesia

Secara khusus, bagi seorang penulis artikel, sebenarnya kemajuan teknologi ini adalah satu anugerah menyenangkan. Selain menambah kecepatan menulis, seharusnya, teknologi kecerdasan buatan bisa meningkatkan kualitas tulisan. 

Dengan demikian, seharusnya tulisan berkualitas di ruang digital era kekinian, bisa semakin banyak dijumpai. Masyarakat pun bisa mendapat informasi berkualitas, yang sudah seharusnya berhak mereka dapatkan. 

Sebaliknya, ketika kecerdasan buatan sebatas "dipaksa" membuat tulisan sebanyak mungkin dalam waktu singkat, hasil dan dampaknya rawan menjadi kontraproduktif. Teknologi ini memang mampu membuat tulisan panjang. Namun, tanpa sentuhan personal khas manusia, tulisan yang dihasilkan malah cenderung kurang berkualitas, karena tujuan awalnya memang mengejar kuantitas, bukan kualitas.

Maka, perlu ada kesadaran bersama, untuk menaruh batasan tegas, soal sejauh mana peran teknologi kecerdasan buatan. Mungkin terdengar klise, tapi langkah ini akan bermanfaat dalam jangka panjang.

Suatu Sore Bersama Komunitas Gusdurian

Dengan pendekatan yang sehat, ekosistem yang sehat dapat dibangun. Pada gilirannya, perilaku dan budaya yang sehat, seperti membaca dan cek-ricek informasi, bisa pelan-pelan dibentuk. Ruang untuk hoaks pun bisa semakin dikikis.

Jadi, sebanyak apapun informasi yang diterima, kualitasnya relatif konsisten. Respon sikap yang dihasilkan pun positif, sehingga budaya konstruktif bisa dibangun. Ini memang bukan proses yang mudah, tapi jika mau ditekuni dan disadari bersama, manfaat yang dihasilkan akan jauh lebih luas.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.