Belum lama berselang sejak pengesahan UU No. 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintah kembali mengusulkan revisi—khususnya Pasal 30—yang memicu perdebatan sengit.
Pasal ini sebelumnya memberikan kewenangan kepada menteri, gubernur, bupati/wali kota, serta pimpinan lembaga untuk menetapkan mutasi dan pengangkatan pejabat ASN (selain eselon tinggi utama dan madya).
Namun, dalam revisi yang diusulkan, kewenangan ini akan ditarik sepenuhnya ke tangan presiden.
Pro-Kontra Sentralisasi Mutasi ASN
Pemerintah beralasan bahwa langkah ini akan memperluas ruang karier ASN berprestasi di daerah, sekaligus meminimalisir praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di level daerah.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah dalam UU No. 32/2004, yang menyerahkan urusan pemerintahan kepada daerah, kecuali di bidang tertentu seperti pertahanan, keamanan, dan moneter.
Dr. Subarsono, M.Si., M.A., Pakar Kebijakan Publik UGM, mengkritik wacana ini. Menurutnya, pemindahan kewenangan mutasi ke pusat akan melemahkan otonomi daerah dan berpotensi memicu resistensi dari kepala daerah, termasuk dari partai pendukung pemerintah.
"Jika pusat mengambil alih mutasi pejabat daerah, apakah ini sesuai dengan UU Otonomi Daerah?,” kata Subarsono, dikutip dari ugm.ac.id.
Baca juga Dana Indonesiana 2025 Resmi Diluncurkan, Siap Dukung Pelaku Budaya dengan Dana Rp465 Miliar
Dampak bagi Daerah dan ASN
Beberapa konsekuensi yang mungkin muncul:
- Kepala daerah merasa dirugikan karena telah menginvestasikan dana APBD untuk pelatihan dan pengembangan kompetensi ASN, namun kemudian pejabat tersebut tiba-tiba dimutasi oleh pusat.
- ASN mungkin enggan pindah karena alasan ekonomi dan keluarga, meskipun ada peluang karier lebih baik di pusat atau daerah lain.
- Potensi konflik antara pusat dan daerah jika kebijakan ini dipaksakan tanpa dialog mendalam.
Di sisi positif, sentralisasi mutasi bisa memperkecil praktik KKN dan membuat distribusi SDM ASN lebih merata. Namun, Subarsono menegaskan bahwa revisi UU ASN tidak boleh terburu-buru.
Subarsono menyarankan diskusi mendalam dengan pemangku kepentingan, kajian akademis, dan analisis dampak sebelum kebijakan ini diterapkan.
Perlukah Revisi Segera Dilakukan?
Wacana revisi UU ASN ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, bisa memperkuat integrasi nasional dan memerangi KKN. Di sisi lain, berisiko mengikis otonomi daerah dan menimbulkan ketidakpuasan di tingkat lokal.
Solusi terbaik adalah pendekatan bertahap dengan melibatkan semua pihak, agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar adil dan efektif.
Baca juga Soal Pengajuan Status Daerah Istimewa Baru, Begini Saran Dosen UNAIR
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News