Kabar wafatnya Paus Fransiskus pada tahun 2025 meninggalkan duka mendalam, tak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi masyarakat dunia yang mencintai perdamaian.
Pemimpin spiritual Gereja Katolik ini bukan sekadar tokoh agama—ia adalah simbol harapan dan suara moral dalam percaturan global yang kerap gaduh oleh konflik dan perpecahan.
Di tengah berbagai tantangan zaman, Paus Fransiskus hadir dengan pesan-pesan sederhana tapi kuat. Ia mengajarkan bahwa perdamaian bukan sekadar ketiadaan perang, melainkan hadir dari hati yang bersedia mendengar, berdialog, dan membuka diri terhadap perbedaan.
Kalimatnya yang terkenal, “perang adalah kekalahan bagi kemanusiaan,” menggambarkan pandangan moral yang sangat dibutuhkan di tengah dunia yang mudah terbakar oleh perbedaan politik, etnis, dan agama.
Kunjungan terakhir Paus Fransiskus ke Indonesia pada September 2024 menjadi salah satu momen yang paling berkesan dalam sejarah hubungan Vatikan dan Indonesia.
Paus Fransiskus Wafat: Menanti Pemimpin Baru Gereja Katolik
Saat itu, ia bertemu Presiden Joko Widodo dan tokoh-tokoh lintas agama. Pesan yang ia sampaikan begitu membekas: Indonesia, dengan segala keberagamannya, adalah contoh nyata bahwa damai dalam perbedaan bukan sekadar impian.
Ia menyebut bahwa “umat Katolik di Indonesia harus menjadi penabur kasih dan pejuang dialog.” Sebuah pesan yang terasa sangat personal dan relevan di negeri ini.
Paus Fransiskus juga tidak tinggal diam melihat konflik global, termasuk tragedi berkepanjangan di Palestina. Di Jakarta, ia kembali menyerukan pentingnya solusi dua negara dan keadilan bagi rakyat Palestina.
Baginya, keberpihakan terhadap perdamaian tidak mengenal agama atau kebangsaan—ia adalah panggilan nurani.
Nilai-nilai yang ia bawa sejalan dengan semangat Pancasila dan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang selama ini menjadi fondasi Indonesia. Presiden Jokowi bahkan menyambut Paus dengan menyatakan bahwa “perbedaan adalah anugerah, dan toleransi adalah pupuk bagi perdamaian.”
Pertemuan dua pemimpin ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi memperkuat bahwa kolaborasi lintas iman dan budaya adalah kekuatan nyata dalam membangun dunia yang lebih baik.
Dalam pesan Paskah terakhirnya, Paus Fransiskus menyerukan gencatan senjata di Gaza dan pembebasan para sandera, serta mengajak dunia untuk mengakhiri kekerasan di berbagai belahan dunia, termasuk Sudan dan Republik Demokratik Kongo.
Ia menekankan bahwa bersama Tuhan, semuanya bisa dimulai kembali, dan bahwa damai tetap mungkin di tengah dunia yang penuh konflik.
Dalam kacamata geopolitik, Paus Fransiskus adalah sosok langka. Ia bukan diplomat konvensional, tapi punya pengaruh besar dalam hubungan antarnegara lewat pendekatan moral dan kemanusiaan.
Banyak pakar menyebut pendekatan ini sebagai bentuk diplomasi moral—sebuah cara mengajak dunia berpikir ulang soal kekuasaan dan kepentingan, lalu menggantinya dengan kepedulian dan keberanian untuk berdamai.
Paus Fransiskus Meninggal Dunia, Apa Selanjutnya untuk Gereja Katolik?
Paus Fransiskus telah tiada. Namun, warisan pikirannya terus hidup. Ia mengajarkan bahwa perdamaian bukan utopia, melainkan hasil dari keberanian untuk membuka hati. Bagi Indonesia, yang kini terus berjuang menjaga toleransi dalam kebinekaan, pesan-pesannya seperti pelita dalam perjalanan panjang menuju harmoni.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News