kembali merasa aman pemulihan trauma seksual dari perspektif tubuh - News | Good News From Indonesia 2025

Kembali Merasa Aman, Pemulihan Trauma Seksual dari Perspektif Tubuh

Kembali Merasa Aman, Pemulihan Trauma Seksual dari Perspektif Tubuh
images info

“Trauma is not just an event that took place sometime in the past. It is also the imprint left by that experience on mind, brain, and body.”— Bessel van der Kolk, The Body Keeps the Score

Membaca portal berita beberapa pekan terakhir bagi saya terasa kurang nyaman. Media sosial masih ramah dengan kesaksian para perempuan yang menjadi korban pelecehan. Lagi-lagi, pelakunya adalah mereka yang seharusnya menciptakan ruang aman.

Tanpa menggeneralisasi para pemilik profesi, ruang praktik dokter yang seharusnya steril dan profesional berubah menjadi arena kekuasaan atas tubuh perempuan yang tak berdaya. Yang lebih menyayat, ini bukan kasus pertama, tapi terus berulang.

Selain itu, ditambah dengan reaksi masyarakat yang bukan hanya heboh, tapi juga terbelah. “Kenapa nggak teriak?” “Masa nggak bisa bedakan mana profesional, mana nggak?”

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya mengabaikan kompleksitas trauma, tetapi juga memperpanjang luka korban.

Namun di balik reaksi itu, tubuh juga sedang memberi sinyal: ada luka yang belum sembuh, tapi bisa dipulihkan.

Trauma, Energi yang Tertinggal

Buku “The Body Keeps the Score” karya Bessel van der Kolk memberikan pemahaman menarik dan penting. Bukan hanya menikmati bukunya, saya juga kembali diingatkan pada pengalaman memulihkan diri dari trauma.

Trauma bukan sekadar ingatan yang menyakitkan, tetapi energi yang hidup dan masih tertinggal dalam tubuh. Ia mengubah sistem saraf, membentuk ulang cara seseorang melihat dunia, dan menetap dalam gestur-gestur kecil.

Viral Anak SD Disuruh Duduk di Lantai karena tak Bisa Bayar SPP, Anggota TNI Ini Bantu Sembuhkan Trauma

Saya sejenak mengingat reaksi-reaksi fisik yang sempat saya alami dan mengganggu selama beberapa waktu. Leher dan bahu yang tegang, jantung yang berdegup tanpa sebab, gemetar, hingga membawa pada ketidakmampuan memercayai orang lain.

Ternyata, ini adalah sebuah sinyal bahwa masih ada energi yang tertinggal karena sebuah peristiwa menyakitkan.

Ketika seseorang menyentuh tubuh dengan cara yang menyimpang, korban tak hanya mengalami rasa takut atau jijik. Tubuh mereka—secara biologis—merekam peristiwa itu sebagai ancaman hidup. Dalam banyak kasus, reaksi yang muncul bukan melawan atau lari, melainkan membeku (freeze). Sedihnya, hal ini sering disalahpahami sebagai "diam karena rela".

Ketika Ruang Medis Tak Lagi Aman

Ruang praktik medis seharusnya menjadi ruang pemulihan, bukan ruang kekuasaan. Namun, belakangan, ruang ini justru menjadi zona abu-abu. Korban tak tahu harus melapor ke mana dan juga malu untuk berbicara.

Pengalaman ini mengingatkan kita pada konsep trauma institusional, yakni luka psikologis yang muncul bukan hanya dari kekerasan itu sendiri, tetapi juga dari “pengkhianatan” sistem dan institusi yang seharusnya melindungi.

Kasus-kasus yang melibatkan tenaga medis menunjukkan bahwa institusi pun bisa melukai. Sebab, saat korban kehilangan rasa aman di tempat yang seharusnya menyembuhkan, dampaknya berlapis.

Trauma tak bisa disembuhkan hanya dengan doa atau nasihat. Dalam buku The Body Keeps the Score, van der Kolk menjelaskan bahwa proses pemulihan butuh pengakuan, rasa aman, dan dukungan komunitas.

Lebih dalam lagi, tubuh korban butuh waktu untuk belajar merasa aman kembali. Itu tidak terjadi dalam semalam. Saya sendiri, dengan didampingi tenaga profesional, sudah lebih dari setahun dan masih terus berupaya untuk tenang ketika ter-trigger.

Namun, bukan berarti harapan sirna. Saat lebih banyak pihak—dari masyarakat, media, hingga tenaga profesional—mau belajar mendengar dan memahami, kita sedang membangun ulang kepercayaan itu sedikit demi sedikit.

Tubuh Korban, Narasi yang Direnggut

Kekerasan seksual bukan cuma tentang kekuasaan atas tubuh, tetapi juga tentang penghilangan hak atas narasi. Korban jadi ragu atas pengalamannya sendiri. Apakah aku dilecehkan? Atau aku yang terlalu sensitif? Apalagi ketika pelaku adalah “orang pintar,” seseorang yang punya gelar, status sosial tinggi, bahkan kalangan keluarga agamis.

Banyak korban kehilangan koneksi dengan tubuh mereka sendiri. Mereka merasa “mati rasa,” tak nyaman disentuh, atau mengalami gejala psikosomatik bertahun-tahun. Ini bukan “lebay.” Ini benar-benar sebuah sinyal dari tubuh bahwa ada hal yang belum selesai.

Hewan Bisa Mengalami Trauma Masa Kecil, Ini Sederet Buktinya!

Kita hidup di tengah masyarakat yang masih gagap soal trauma. Kita cepat marah pada pelaku, tetapi pelan dalam membangun sistem yang mencegahnya. Kita suka bicara soal korban, tapi tak selalu benar-benar mendengarkan mereka.

Barang kali, inilah saatnya kita mulai belajar dari tubuh. Dari trauma yang diam-diam menjerit. Dari luka yang tak bisa dilihat, tapi terasa setiap malam saat mencoba tidur. Dari keberanian perempuan-perempuan yang bersuara, meski tubuh mereka terus gemetar. Karena tubuh tak pernah lupa, juga berhak untuk merasa aman kembali.

Cara Penyembuhan Trauma Kekerasan Seksual, Proses yang Panjang, tetapi Bisa

Mencari Dukungan Profesional: Korban dapat berkonsultasi dengan tenaga medis dan psikolog yang ahli menangani penyintas dengan kondisi tersebut. 

Validasi Pengalaman: Mengakui diri bahwa pengalaman tersebut bukan sebuah kekurangan, tetapi bagian dari hidup dan sangat bisa untuk disembuhkan. Hindari menyalahkan diri sendiri dan lakukan afirmasi positif

Bangun Rasa Aman secara Bertahap: Trauma membuat tubuh merasa terus dalam ancaman. Mulailah dari hal kecil untuk menciptakan zona aman secara fisik dan emosional, misalnya membatasi pemicu, membuat agenda rutin yang stabil, dan melakukan aktivitas yang mindfulness (yoga, meditasi, menulis jurnal, dan lainnya).

Jangan Sendiri, Bangun Komunitas Aman: Terhubung dengan komunitas atau support group membantu mengurangi rasa isolasi dan menyadari bahwa kita tidak sendiri.

Beri Waktu untuk Diri Sendiri: Tidak ada “deadline” untuk pulih. Setiap proses adalah valid. Rayakan kemajuan sekecil apa pun dan tidak perlu membandingkan proses penyembuhan dengan orang lain.

Kawan GNFI, kita mungkin belum hidup di dunia yang sepenuhnya aman. Namun, tetap, kita bisa menciptakan ruang-ruang kecil yang penuh empati. Setiap kisah yang dibagikan, setiap korban yang didengarkan, dan setiap langkah menuju pemulihan adalah bagian dari perubahan besar. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.