Burung Taktarau Besar (Lyncornis macrotis), juga dikenal sebagai Great Eared Nightjar, adalah salah satu spesies burung nokturnal yang unik dan misterius.
Burung ini memiliki ciri khas berupa bulu yang berwarna cokelat keabu-abuan dengan corak bintik-bintik hitam dan putih, membantu kamuflase di habitatnya.
Ukurannya relatif besar untuk keluarga nightjar, dengan panjang tubuh sekitar 30–41 cm dan bentang sayap Taktarau besar mencapai 60 cm (Cleere, 2010).
Salah satu ciri paling mencolok adalah adanya sepasang "telinga" atau jambul di atas kepalanya yang menyerupai tanduk naga, sehingga dijuluki "naga malam".
Matanya besar dan berwarna kuning, adaptasi untuk penglihatan tajam di malam hari. Paruhnya pendek tetapi lebar, ideal untuk menangkap serangga saat terbang (Holyoak, 2001).
Persebaran Taktarau Besar di Indonesia
Burung Taktarau Besar tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, dalam buku "Daftar Burung Indonesia Indonesian Ornithologists’ Union" yang ditulis Sukmantoro dkk. (2007), disebutkan bahwa spesies ini dapat ditemukan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, meskipun populasinya relatif jarang.
Menurut BirdLife International, habitat utama taktarau besar adalah hutan tropis dataran rendah hingga ketinggian 1.200 mdpl, termasuk hutan sekunder dan daerah berdekatan dengan sungai atau rawa.
Burung taktarau besar lebih aktif di malam hari (nokturnal) dan menghabiskan siang hari dengan bersembunyi di antara dedaunan atau di tanah, mengandalkan kamuflase untuk menghindari predator.
Baca juga Memupuk Harapan Konservasi dari Laporan Status Burung Indonesia 2025
Apa Makanan Burung Taktarau Besar?
Seperti anggota keluarga Caprimulgidae lainnya, taktarau besar adalah insektivora, memakan berbagai jenis serangga seperti ngengat, kumbang, dan capung.
Taktarau besar berburu dengan cara terbang rendah di atas tanah atau vegetasi, menangkap mangsanya di udara dengan mulut yang lebar.
Taktarau Besar, hewan yang dilindungi
Populasi global Burung Taktarau Besar belum terdata secara pasti, tetapi diperkirakan stabil karena persebarannya yang luas.
Meski demikian, deforestasi dan perusakan habitat mengancam kelangsungan hidupnya di beberapa daerah. IUCN Red List memasukkan spesies ini dalam kategori Least Concern (Risiko Rendah), tetapi di Indonesia, burung ini termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P.106 Tahun 2018 (IUCN, 2023).
Asal-Usul Julukan "Naga"
Burung ini sering dikaitkan dengan mitos naga karena penampilannya yang unik. Jambul di kepalanya menyerupai tanduk naga, sementara bulu-bulu di sekitar wajah memberikan kesan mistis. Dalam beberapa budaya lokal, suara khasnya yang mendesis di malam hari dianggap sebagai pertanda magis.
Selain itu, kemampuannya untuk "menghilang" di siang hari berkat kamuflase yang sempurna menambah kesan misterius. Burung ini jarang terlihat oleh manusia, sehingga menjadi salah satu spesies paling elusif di dunia burung.
Referensi
- BirdLife International. (2023). Lyncornis macrotis. The IUCN Red List of Threatened Species.
- Cleere, N. (2010). Nightjars of the World: Potoos, Frogmouths, Oilbird, and Owlet-nightjars. Princeton University Press.
- Sukmantoro, W., dkk. (2007). "Daftar Burung Indonesia Indonesian Ornithologists’ Union".
Baca juga Mengenal Serak Jawa, Burung Hantu yang Jadi Andalan Prabowo Berantas Hama Tikus
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News