Ulasan Lengkap Novel Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo
Novel Student Hidjo membahas konflik batin tokoh utama karya Mas Marco Kartodikromo dengan pendekatan psikologi sastra, khususnya teori psikoanalisis Sigmund Freud. Fokus utama dalam novel ini adalah bagaimana struktur kepribadian Hidjo, seorang pemuda pribumi yang belajar di Belanda, mengalami ketegangan antara dorongan naluriah, realitas sosial, dan nilai-nilai moral dalam dirinya.
Karya sastra sering kali menggambarkan kondisi sosial dan psikologis tokoh-tokohnya secara simbolik dan imajinatif. Dalam novel ini, pendekatan psikoanalisis menjadi alat untuk memahami dinamika batin tokoh Hidjo yang terjebak dalam dua kutub budaya: Timur dan Barat. Konflik batin tokoh ini dianggap representatif terhadap pertarungan antara budaya asal dan budaya kolonial yang dihadapi kaum pribumi terpelajar pada masa kolonial.
Berlandaskan pada teori psikoanalisis Sigmund Freud yang membagi kepribadian menjadi tiga struktur utama: Id, Ego, dan Super Ego. Id berfungsi sebagai sumber dorongan biologis yang mencari kesenangan; Ego sebagai mediator yang mempertimbangkan realitas; dan Super Ego sebagai struktur moral yang mengontrol tindakan berdasarkan nilai dan norma.
Biografi Pengarang
Mas Marco Kartodikromo adalah seorang penulis dan jurnalis progresif dari kalangan priyayi rendah yang aktif dalam pergerakan anti-kolonial. Ia dikenal sebagai pengarang “bacaan liar” karena tidak menerbitkan karyanya melalui Balai Pustaka, lembaga resmi kolonial Belanda. Novel Student Hidjo ditulis berdasarkan pengalaman pribadinya di Belanda, dan menggambarkan benturan budaya serta krisis identitas yang dialami tokoh utama.
Unsur Intrinsik Novel
- Tema
Tema utama novel ini adalah benturan budaya antara Timur dan Barat. Hidjo mengalami konflik internal ketika berhadapan dengan budaya Eropa yang bebas dan budaya asalnya yang sarat nilai sopan santun. Subtema lainnya adalah identitas, perjuangan kelas, dan peran pendidikan dalam membentuk karakter.
- Alur
Alur novel bersifat progresif atau kronologis. Cerita dimulai dari perkenalan tokoh Hidjo yang mendapat kesempatan belajar di Belanda, kemudian berkembang dengan konflik budaya, mencapai klimaks saat Hidjo harus memilih antara nilai-nilai Barat atau pulang ke tanah air, dan diakhiri dengan keputusannya kembali ke Jawa.
- Penokohan
Tokoh utama adalah Hidjo, seorang pemuda yang cerdas, sopan, tetapi mudah terpengaruh. Tokoh tambahan seperti Betje (gadis Belanda), Biroe, Woengoe, dan Wardojo berperan memperkuat dinamika tokoh utama. Betje menjadi simbol godaan Barat, sedangkan Biroe dan Woengoe mewakili nilai-nilai tradisional Jawa.
- Latar
Latar tempat meliputi Solo, Amsterdam, Den Haag; latar waktu merujuk pada masa kolonial awal abad ke-20; dan latar sosial menggambarkan kondisi pergaulan sosial antara pribumi dan kolonial yang penuh ketimpangan dan godaan hedonistik.
- Sudut Pandang
Pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu yang memungkinkan pengungkapan batin tokoh secara mendalam.
- Gaya Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Melayu Rendah dan Belanda. Pemilihan ini menunjukkan keberpihakan Mas Marco pada pembaca dari kalangan rakyat jelata serta memperlihatkan nuansa kolonial.
- Amanat
Nilai-nilai moral yang ditekankan antara lain pentingnya menjaga identitas budaya, menghargai adat istiadat, patuh pada orang tua, dan tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan luar.
Analisis Psikologi Sastra Tokoh Hidjo
Analisis tokoh Hidjo dilakukan dengan membedah ketiga struktur psikis Freud:
- Id
Id terlihat saat Hidjo mulai tergoda oleh budaya pergaulan bebas di Belanda. Contohnya, saat ia digoda oleh Betje dan akhirnya mengikuti kemauannya, termasuk masuk ke kamar hotel. Id mendorong Hidjo mencari kesenangan tanpa mempertimbangkan norma atau dampaknya bagi masa depan dan keluarganya.
- Ego
Ego muncul ketika Hidjo berusaha menyeimbangkan dorongan kesenangan dengan kenyataan sosial. Misalnya, meskipun tidak tertarik melancong, ia tetap mengikuti ajakan Betje demi menjaga hubungan sosial. Hidjo juga menunjukkan perilaku sopan yang tidak sepenuhnya tulus, melainkan karena tuntutan norma sosial.
- Super Ego
Super Ego berperan saat Hidjo mengingat pesan ibunya dan sadar bahwa tujuan keberadaannya di Belanda adalah untuk belajar, bukan bersenang-senang. Ketika ia dilanda rasa bersalah dan kekhawatiran tentang dampak dari perbuatannya, itu adalah bentuk dominasi Super Ego.
Penggunaan bahasa Belanda tanpa terjemahan atau keterangan tambahan juga bisa dianggap sebagai salah satu kekurangan novel Student Hidjo, terutama bagi pembaca modern yang tidak familiar dengan bahasa tersebut.
Mengapa ini bisa menjadi kekurangan?
- Menyulitkan Pembaca Non-Belanda
Pada masanya, banyak kaum intelektual pribumi yang menguasai bahasa Belanda karena pendidikan kolonial, tetapi pembaca sekarang mungkin kesulitan memahami istilah atau dialog yang tidak diterjemahkan. Ini bisa menghambat pemahaman cerita.
- Mengurangi Keterlibatan Emosional Pembaca
Jika pembaca tidak mengerti makna dari istilah atau kalimat dalam bahasa Belanda, mereka mungkin kehilangan nuansa atau makna penting dari percakapan atau deskripsi tertentu.
- Kurangnya Konteks untuk Pembaca Umum
Beberapa istilah atau frasa dalam bahasa Belanda memiliki makna khusus yang mungkin tidak langsung dapat dipahami tanpa penjelasan lebih lanjut. Hal ini bisa membuat pembaca kesulitan menangkap maksud asli penulis.
Namun, bisa juga dilihat sebagai keunikan, seperti.
- Merefleksikan Realitas Sosial Saat Itu
Pada masa kolonial, bahasa Belanda adalah bahasa resmi pendidikan dan administrasi. Mas Marco Kartodikromo mungkin sengaja mempertahankan istilah-istilah Belanda untuk mencerminkan bagaimana kaum intelektual pribumi saat itu berkomunikasi.
- Menambah Autentisitas
Penggunaan bahasa Belanda dapat memperkuat kesan realisme dalam novel ini, terutama dalam menggambarkan interaksi antara pribumi dan orang Belanda.
Meskipun penggunaan bahasa Belanda tanpa terjemahan bisa menjadi kendala bagi pembaca modern, hal ini juga menjadi bagian dari keunikan Student Hidjo. Jika ada edisi baru yang memberikan catatan kaki atau glosarium, itu akan membantu pembaca memahami konteksnya tanpa menghilangkan unsur autentisitas novel.
Simpulan
Konflik batin tokoh Hidjo menggambarkan perjuangan kompleks seorang individu dalam menyeimbangkan dorongan instingtif, tuntutan realitas, dan nilai moral. Pergulatan antara Id, Ego, dan Super Ego dalam diri Hidjo menjadikannya tokoh yang menarik dan realistis. Ia bukan hanya representasi dari individu terpelajar di masa kolonial, tetapi juga simbol dari krisis identitas budaya yang dihadapi masyarakat pribumi saat itu.
Melalui pendekatan psikoanalisis, pembaca dapat melihat bahwa Student Hidjo tidak hanya menghadirkan cerita tentang perjalanan pemuda ke negeri asing, tetapi juga menyuarakan kegelisahan batin dan pencarian jati diri yang bersifat universal. Dengan demikian, novel ini memiliki nilai psikologis dan historis yang signifikan serta relevan untuk dianalisis dalam konteks sastra Indonesia modern.
Kutipan
“Percampuran bangsa itu bisa jadi memang baik, kalau antara bangsa yang satu dan bangsa yang lainnya sama derajatnya, sama kekuatannya, sama kepercayaannya dan lain-lain." (Raden Tumenggung, hal. 61)
Selamat terbawa ke dalam cerita dengan adanya perlawanan terhadap kolonialisme, kehidupan intelektual pribumi, dan benturan budaya. Jangan lewatkan kesempatan untuk mengetahui apakah Student Hidjo layak masuk dalam daftar bacaan wajib Kawan GNFI!
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News