Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah hingga mendekati angka Rp17.000 per USD.
Bagi masyarakat menengah ke bawah, situasi ini bukan sekadar dinamika makroekonomi, tetapi bisa berimbas pada pengeluaran sehari-hari, dari harga kebutuhan pokok hingga biaya transportasi.
Mengapa Dolar Menguat dan Rupiah Melemah?
Achmad Cholis Hamzah, akademisi dan mantan staf ahli bidang ekonomi di kedutaan, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah disebabkan oleh kombinasi faktor domestik dan global.
Ia mengurai keterkaitan antara struktur perekonomian nasional, ketergantungan impor, kebijakan luar negeri negara lain, hingga utang luar negeri pemerintah.
Kenaikan nilai tukar dolar AS terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya adalah struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada impor.
Dalam kerangka rumus pertumbuhan ekonomi klasik, jika nilai impor jauh lebih besar daripada ekspor, maka permintaan terhadap mata uang asing seperti dolar AS akan meningkat, dan nilai tukar rupiah cenderung melemah.
Achmad Cholis mencontohkan, banyak kebutuhan pokok di Indonesia yang masih harus diimpor, mulai dari kedelai, BBM, pakan ternak, gula, hingga obat-obatan.
“Beras saja, Indonesia impornya berkisar antara 1,5 hingga 3,5 juta ton per tahun,” ungkap Cholis kepada GNFI.
Faktor Eksternal Pelemahan Rupiah
Selain itu, faktor eksternal seperti kebijakan moneter Amerika Serikat juga ikut memperkuat dolar.
Ketika The Fed (Bank Sentral AS) menaikkan suku bunga, arus modal cenderung kembali ke AS karena instrumen seperti saham dan obligasi di sana menjadi lebih menarik. Akibatnya, banyak dana asing keluar dari negara berkembang seperti Indonesia, yang ikut menekan nilai tukar rupiah.
Faktor lain adalah kewajiban pembayaran utang luar negeri. Pada 2025, pemerintah Indonesia diperkirakan menghadapi utang jatuh tempo sebesar Rp852 triliun, dengan nilai terbesar di bulan Juni, yakni sekitar Rp178,9 triliun.
Pembayaran ini akan mendorong permintaan terhadap dolar AS untuk pelunasan, sehingga menambah tekanan terhadap rupiah.
Di sisi lain, ketidakpastian global akibat konflik di berbagai kawasan serta inflasi di negara-negara mitra dagang juga memperburuk kondisi. Harga barang impor menjadi lebih mahal, dan karena Indonesia masih sangat tergantung pada barang impor, dampaknya terasa langsung ke pasar domestik.
Dampak bagi Masyarakat Menengah ke Bawah
Pelemahan rupiah berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa, terutama yang mengandung komponen impor.
Ini termasuk bahan pangan seperti kedelai yang menjadi bahan baku tahu dan tempe, serta BBM yang memengaruhi biaya logistik dan transportasi. Ketika biaya distribusi naik, harga barang di tingkat konsumen pun ikut terkerek.
“Nilai US$ yang terus naik akan berakibat pada harga-harga kebutuhan pokok yang kita impor tadi, termasuk biaya transportasi dan logistik,” ujar Achmad Cholis.
Bagi masyarakat menengah ke bawah, situasi ini mempersempit ruang hidup. Pendapatan yang stagnan tidak sebanding dengan lonjakan harga. Kondisi ini makin berat bagi pekerja sektor informal dan rumah tangga tanpa akses proteksi sosial yang memadai.
Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat untuk Bertahan?
Dalam menghadapi tekanan ekonomi akibat pelemahan rupiah, rumah tangga bisa mengambil sejumlah langkah penyesuaian.
Efisiensi konsumsi menjadi langkah pertama yang penting, memprioritaskan pengeluaran hanya untuk kebutuhan yang benar-benar mendesak dan penting, seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Selain itu, memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga juga bisa dilakukan dengan mengurangi ketergantungan pada barang-barang impor. Masyarakat bisa mulai beralih ke produk lokal, baik pangan maupun kebutuhan harian lain yang lebih stabil harganya karena tidak terpengaruh langsung oleh fluktuasi dolar.
Menambah sumber penghasilan melalui usaha kecil, kerja paruh waktu, atau pemanfaatan keterampilan juga dapat menjadi strategi bertahan.
Pengelolaan keuangan yang lebih bijak juga penting. Masyarakat perlu berhati-hati terhadap utang konsumtif, terutama dari pinjaman daring yang bunganya tinggi. Disiplin menyisihkan dana darurat, meskipun jumlahnya kecil, bisa sangat membantu saat menghadapi lonjakan harga mendadak.
Memperkuat Pasar Domestik: Jalan Jangka Panjang
Dengan melemahnya rupiah, Indonesia perlu menekankan pentingnya langkah struktural dari sisi kebijakan ekonomi nasional.
Indonesia perlu mengembangkan sektor produksi dalam negeri, terutama untuk barang-barang strategis yang selama ini banyak diimpor. Ini meliputi pangan, energi, bahan baku industri, hingga obat-obatan.
“Indonesia perlu memperkuat pasar domestik, dalam negeri dan sebisanya menghindari ketergantungan terhadap impor,” ujar Cholis
Dengan memperkuat industri lokal dan memperbesar kapasitas produksi nasional, Indonesia bisa mengurangi tekanan terhadap permintaan valuta asing, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News