merawat wayang potehi tontonan populer orang tionghoa surabaya era 1960 an - News | Good News From Indonesia 2025

Merawat Wayang Potehi, Tontonan Populer Orang Tionghoa Surabaya Era 1960-an

Merawat Wayang Potehi, Tontonan Populer Orang Tionghoa Surabaya Era 1960-an
images info

Merawat Wayang Potehi, Tontonan Populer Orang Tionghoa Surabaya Era 1960-an


Wayang orang atau Wayang Potehi merupakan kesenian yang menjadi identitas orang Tionghoa di Surabaya. Pada era 1950-an dan 1960-an, kesenian ini begitu populer bagi masyarakat Surabaya, khususnya orang Tionghoa.

Dimuat dari Radar Surabaya, Tee Boen Liong, ki dalang keturunan Tionghoa menyatakan pada era itu grup-grup wayang sering kali menggelar pertunjukan. Hal ini memang tidak lepas dari animo masyarakat Surabaya yang ingin menonton.

"Memang zaman dulu banyak orang Tionghoa yang suka budaya wayang orang. Engkong saya pun punya wayang orang di Pacar Keling. Gedungnya masih ada," paparnya.

Karena cukup populer, para bintang dari grup-grup wayang ini juga diundang ke Istana Negara. Bahkan menggelar pertunjukan di beberapa kota di Indonesia.

Tetapi grup-grup wayang Tionghoa ini mulai menghilang setelah era Orde Baru. Adanya pembatasan orang Tionghoa untuk beraktualisasi diri membuat mereka lebih memilih untuk menjadi pengusaha.

"Saya punya anggota Perbusa generasi terakhir yang terus eksis di budaya," kata Boen Liong terharu.

Terus merawat 

Walau saat ini era pertunjukan wayang tidak seperti dulu, Boeng Liong tak pernah menyerah. Dia tetap menghidupkan spirit wayang orang dengan aktif mendalang wayang kulit.

Salah satunya pementasan wayang orang pembauran oleh pada 18 Maret 2023 di Balai Budaya Surabaya. "Puji Tuhan, penonton full sampai selesai," kata Boen Liong.

Hal yang sama dilakukan oleh Ong Khing Kiong Ketua Pelaksana Kerohanian Klenteng Dukuh dengan terus mempertahankan dan melestarikan Wayang Potehi. Hal ini dengan adanya pertunjukan rutin di Klenteng Hong Tik Hian Jalan Dukuh II, Pabean Cantian, Surabaya.

Klenteng yang akrab dikenal Klenteng Dukuh oleh masyarakat Surabaya itu tidak hanya mengajarkan Wayang Potehi kepada anak-anak Tionghoa saja. Tetapi juga kepada masyarakat umum.

Dia mengatakan kesenian yang sudah ada sejak abad 17 itu telah menjadi bagian dari kehidupan spiritualitas. Baginya kesenian ini menjadi salah satu medium penyampaian ajaran-ajaran Tridharma (Budha, Taoisme, Konfusianisme).

“Ceritanya lebih banyak tentang mitos, cerita rakyat, dan sejarah dinasti-dinasti di Tiongkok yang sarat pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang universal,” kata Ong.

Tempat pendidikan 

Ong mengatakan Klenteng Dukuh menjadi tempat pendidikan untuk regenerasi pemain Wayang Potehi. Karena itu, dia membuka untuk umum kepada masyarakat yang ingin belajar.

“Kami didik anak-anak belajar Potehi. Dari luar kota juga ada, dari seluruh Indonesia. Tidak hanya untuk orang Tionghoa, tapi juga Jawa, Madura, siapapun. Penganut agama apapun,” katanya.

Bahkan beberapa di antara pemain inti Wayang Potehi di Klenteng Dukuh yang terdiri antara 5-18 anak juga ada yang bukan keturunan Tionghoa. Para pemain Potehi ini belajar sejak kecil sampai menjadi profesi.

Terbukti, salah satu dalang senior di Klenteng Dukuh memang bukan keturunan Tionghoa. Namanya Sukar Mudjiono. Dia adalah warga asli Surabaya beragama Islam yang belajar Potehi sejak anak-anak.

Tradisinya, pertunjukan Wayang Potehi menggunakan Bahasa Hokkian. Seiring perkembangan zaman, supaya kesenian ini tetap lestari, Dalang Potehi mencampurnya dengan Bahasa Jawa atau Indonesia.

“Wayang potehi selain sudah menjadi ritual, juga sebagai edukasi dan hiburan. Setiap hari main 3 babak cerita walaupun tidak ada penonton. Sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur,” ujarnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.