memperingati hari suara sedunia setiap kata adalah tanggung jawab - News | Good News From Indonesia 2025

Memperingati Hari Suara Sedunia, Setiap Kata adalah Tanggung Jawab

Memperingati Hari Suara Sedunia, Setiap Kata adalah Tanggung Jawab
images info

Suara bukan sekadar gelombang yang memecah udara. Ia bisa nyaring, lirih, atau bahkan hening. Ia bisa berupa nada, tangis, tawa, bisik-bisik, atau keluhan yang tidak pernah sempat keluar dari tenggorokan. Suara tak selalu butuh volume. Kadang, ia cukup hadir walau tak terdengar.

Pada Hari Suara Sedunia, yang diperingati setiap 16 April, dunia diingatkan untuk menjaga organ mungil bernama pita suara. Ia adalah penjaga bunyi dan alat ekspresi yang sering kita abaikan. Tapi suara bukan hanya soal pita suara. Ia juga soal keberanian, kesempatan, dan ruang untuk menjadi manusia yang utuh.

Dalam hidup sehari-hari, suara adalah jembatan dari isi kepala menuju dunia. Lewat suara, seseorang menyatakan cinta, menuntut keadilan, menyampaikan keberatan, atau sekadar mengucapkan “terima kasih”. Tapi sayangnya, tidak semua orang diberi ruang yang sama untuk bersuara.

Sebaliknya, tidak semua orang juga memanfaatkan suara sebagaimana mestinya. Coba perhatikan, berapa banyak orang di sekitar kita yang kerap lupa mengucap “maaf”? Sementara di sisi yang lain, ada suara hati yang berharap kata maaf diucapkan dengan tulus. Bukan semata-mata ingin dihormati, tetapi diakui sebagai manusia yang tak ingin direndahkan.

Anak-anak yang banyak tanya sering diminta diam. Perempuan yang mengungkapkan pendapat dikatai cerewet. Karyawan yang mengeluhkan sistem kerja dianggap pembangkang. Rakyat yang bersuara disebut tidak tahu diri. Dunia ini bukan kekurangan suara. Ia hanya kekurangan pendengar.

Gaduh Meski Tanpa Suara

Kita hidup di zaman yang nyaring, tapi tak selalu saling mendengar. Media sosial penuh suara, tapi banyak yang hanya menggema demi validasi diri. Di luar layar, ada suara-suara yang tak terdengar bukan karena tak ada, tapi karena sengaja diredam.

Ada yang bersuara setiap hari, tapi hanya untuk mengeluh soal sinyal, cuaca, atau harga kopi yang naik. Ada pula yang bicara panjang lebar tanpa makna. Status kosong dengan gaya tanpa menyentuh kenyataan hidup siapa pun. Kita berlomba jadi viral, tapi lupa jadi relevan. Kita bicara terus, bahkan ketika tak ada yang perlu dikatakan.

Kadang, kita saling berbalas komentar yang tak berarti. Kalimat-kalimat dilempar sekadar untuk eksis, bukan untuk berdialog. Respons seakdar refleks tanpa ingin berbicara lebih jauh. Kita bersuara, tapi justru membuang waktu dan energi yang bisa dipakai untuk mendengar yang lebih penting.

Sementara itu, suara penyintas kekerasan masih diragukan. Suara petani kalah dalam tumpukan dokumen. Suara rakyat adat terhapus atas nama pembangunan. Suara bumi yang retak hanya kita dengar saat banjir datang, atau ketika langit menghitam karena kebakaran hutan.

Dan di sisi lain, ada pula suara-suara yang sengaja dipendam. Bukan karena tak punya keberanian, tapi karena terlalu sering disalahpahami. Banyak orang memilih diam bukan karena tak punya kata, tapi karena takut melukai, takut diserang balik, takut kehilangan pekerjaan, pertemanan, bahkan keluarga.

Kita dibesarkan dalam budaya “nggak enakan” yang membuat diam dianggap lebih mulia daripada jujur yang berarti membangkang. Maka tak heran jika banyak kebenaran tak bersuara bukan karena ditindas, tapi karena dicekik oleh rasa takut yang diwariskan dari hari ke hari.

Ketika Suara Menjadi Amanah

Hari Suara Sedunia, bagi sebagian orang, mungkin terasa seperti seremoni teknis: tentang minum air hangat, melatih pernapasan, atau menghindari rokok. Tapi bagi mereka yang pernah tak didengar, hari ini bisa berarti jauh lebih dalam. Ini adalah pengingat bahwa memiliki suara adalah hak, menggunakannya adalah keberanian, dan menjaga dampaknya adalah tanggung jawab.

Apalagi hari-hari ini, ketika janji politik sering diucapkan dengan lantang, namun realisasinya nyaris tak terdengar. Ketika opini dibagikan bebas, tapi kritik dibungkam. Ketika kata-kata mudah dilontarkan untuk menghakimi, tapi enggan dipakai untuk meminta maaf.

Pernahkah kita bertanya: dari semua yang pernah kita ucapkan, adakah yang menyakiti tanpa kita sadari? Adakah janji yang pernah kita ucapkan, lalu kita tinggalkan begitu saja? Suara yang telanjur terucap tidak pernah sepenuhnya hilang. Ia bisa tinggal lama di ingatan orang lain, sebagai luka, harapan, atau pengingat yang tak terucapkan.

Mereka yang suaranya lebih keras, yang punya panggung dan pengaruh, harus belajar menggunakan suaranya bukan untuk menutupi yang lain, tapi untuk membuka jalan. Karena suara bukan hanya alat berbicara, ia juga amanah yang harus diemban dengan jujur, empati, dan kerendahan hati.

Menjaga dan Memberi Ruang

Menjaga suara bukan hanya soal menjaga tenggorokan dari es krim atau menahan diri dari teriak di konser. Itu penting, tentu. Tapi merawat suara juga berarti tahu kapan harus diam, agar orang lain bisa bicara. Dunia tidak hanya butuh orang yang pandai berkata-kata, tapi juga yang cukup bijak untuk memberi ruang pada suara lain di sekitarnya.

Tak semua suara ingin diperlakukan sama. Sebagian bersuara lewat puisi, sebagian lagi lewat orasi. Ada yang memilih lirih dalam doa, atau menyimpan isi hatinya dalam surat yang tak pernah dikirim. Sebagian bahkan hanya mampu menyuarakan isi pikirannya dalam diam yang panjang.

Di Hari Suara Sedunia ini, mari kita rayakan bukan dengan gegap gempita, tapi dengan kesadaran. Bahwa setiap orang punya suara, dan setiap kata adalah tanggung jawab.

Mari kita tanya diri sendiri, jika hari ini suara kita ingin bicara, kepada siapa ia hendak bersuara?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.