Pada 2 April 2025 lalu, Donald Trump mengumumkan daftar negara-negara yang diberikan tarif resiprokal pada produk-produk yang diekspor ke Amerika Serikat. Langkah ini disebut Trump sebagai langkah ‘balasan’ bagi negara-negara yang memberikan tarif pada negeri adidaya tersebut.
Dalam daftar yang dipublikasikan oleh Gedung Putih, berbagai negara dari benua Eropa hingga Afrika banyak yang terdampak penerapan tarif resiprokal itu. Nama-nama seperti Tiongkok, Uni Eropa, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, hingga negara-negara kecil tak luput dari pengenaan tarif Trump.
Penetapan biaya tambahan ini tentu menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia. Indonesia sendiri sudah menjadikan Amerika Serikat sebagai salah satu mitra dagang paling strategis selama beberapa tahun belakangan.
Penerapan tarif ini dapat meningkatkan risiko perang dagang yang menimbulkan goncangan dan ketidakpastian ekonomi global. Ekonomi Indonesua juga ikut terdampak, terutama pada fluktuasi nilai tukar rupiah.
Berbagai negara berlomba-lomba untuk meminta ‘diskon’ tarif pada Amerika Serikat. Namun, meskipun banyak negara yang mengutamakan negosiasi, ada juga negara yang justru menerapkan tarif balasan untuk Amerika Serikat.
Adalah Tiongkok. Negara di kawasan Asia Timur ini menerapkan tarif balasan sebesar 34 persen atas produk-produk impor asal Amerika Serikat. Sebagai informasi, melalui Gedung Putih, dituliskan bahwa Amerika Serikat memberikan tarif resiprokal sebanyak 34 persen pada produk Tiongkok yang masuk ke pasar AS.
Kanada juga mengikuti jejak Tiongkok untuk menerapkan tarif balasan bagi Amerika Serikat. Kanada, Tiongkok, dan Meksiko sendiri sebelumnya sudah dikenakan tarif impor terlebih dahulu oleh Trump.
Bukan hanya Tiongkok dan Kanada, Uni Eropa dikabarkan juga menyiapkan langkah-langkah balasan jika negosiasi dengan Washington tidak bermuara dengan baik. Amerika Serikat sendiri merupakan mitra dagang utama Uni Eropa.
Lebih dari 20 persen dari total ekspor Uni Eropa masuk ke Amerika Serikat. Produk-produk seperti mobil, alat konstruksi, mesin industri, hingga produk farmasi mendominasi komoditas ekspor ke negeri Paman Sam.
Berbeda dengan langkah berani Tiongkok dan Uni Eropa, Indonesia dan beberapa negara lainnya justru memilih untuk bernegosiasi dengan Washington. Melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, pemerintah disebut melakukan komunikasi dengan Gedung Putih, salah satunya dengan mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Amerika Serikat.
Respons Negara-negara ASEAN Menghadapi Tarif Tinggi Trump
Pemerintah Indonesia mengonfirmasi bahwa Indonesia tidak akan mengambil langkah retaliasi atas kebijakan tarif tersebut. Jalur diplomasi dan negosiasi ditempuh untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi dua negara.
Senada dengan Indonesia, Malaysia juga mengutamakan diplomasi atas penetapan tarif tersebut. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, menyatakan bahwa Malaysia tidak boleh terburu-buru untuk menanggapi tarif Amerika Serikat.
Kamboja yang menerima tarif tertinggi di antara negara ASEAN lainnya, yakni 49 persen, ikut mengupayakan jalur negosiasi. Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, terpantau telah mengirimkan surat pada Donald Trump.
Sementara itu, ASEAN dipastikan juga tidak akan melakukan tarif balasan ke Amerika Serikat. Organisasi kawasan ini menyatakan bahwa mereka akan mengutamakan jalur negosiasi.
Di sisi lain, Vietnam justru memakai cara yang lebih unik dalam menghadapi tarif ini. Diwartakan bahwa pemerintahnya mencoba melobi Washington agar tarif terhadap produk Amerika Serikat yang masuk ke Vietnam bisa turun hingga nol persen.
Bahkan, Trump menyatakan jika pihaknya siap bertemu dengan To Lam, Sekjen Partai Komunis Vietnam, untuk mendiskusikan penghapusan tarif tersebut. Keduanya sudah melakukan panggilan telepon dan siap untuk berunding.
Berbagai negara di dunia, seperti Jepang, Taiwan, hingga India juga dikabarkan mengutamakan negosiasi untuk mencapai kesepakatan bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News