Pasar modal selalu bergerak dinamis, mencerminkan kondisi ekonomi dan sentimen investor. Kadang melesat naik, kadang pula terperosok dalam ketidakpastian. Pada 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan hebat, turun hingga 3,84% dan ditutup di level 6.223,39.
Bahkan, Bursa Efek Indonesia (BEI) sampai harus menghentikan perdagangan sementara setelah IHSG anjlok 6% dalam sesi pertama (Bursa Efek Indonesia, 2024). Para investor panik, beberapa memilih menarik dananya, sementara yang lain bertanya-tanya: bagaimana cara menghadapi situasi ini?
Di tengah ketidakstabilan tersebut, ada satu fakta menarik: Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) justru lebih stabil. Ini bukan kebetulan. Pasar modal syariah memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan pasar konvensional.
Prinsip-prinsip syariah yang melarang riba, spekulasi berlebihan, serta transaksi tanpa dasar aset riil membuat saham syariah lebih tahan terhadap guncangan ekonomi (Otoritas Jasa Keuangan, 2024). Lalu, bagaimana ekonomi syariah bisa menjadi solusi stabilitas di saat pasar konvensional bergejolak?
Mengapa Ekonomi Syariah Lebih Tahan Guncangan?
Ekonomi syariah bukan sekadar alternatif, tetapi juga sistem yang menawarkan kestabilan di tengah ketidakpastian global. Saat krisis keuangan 2008 melanda dunia, banyak bank konvensional yang mengalami kebangkrutan akibat eksposur tinggi terhadap utang dan spekulasi. Sebaliknya, lembaga keuangan syariah relatif lebih aman karena tidak terlibat dalam transaksi berbasis bunga dan instrumen derivatif berisiko tinggi (Bank Indonesia, 2024).
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar industri perbankan syariah Indonesia kini mencapai 7,3% dari total industri perbankan nasional. Sementara itu, kapitalisasi pasar saham syariah di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mencapai 56% dari total nilai pasar (Otoritas Jasa Keuangan, 2024). Ini menunjukkan kepercayaan investor yang semakin besar terhadap sistem keuangan berbasis syariah.
Sukuk dan Reksa Dana Syariah: Investasi yang Lebih Stabil
Di saat pasar saham mengalami volatilitas tinggi, investor cenderung mencari aset yang lebih aman. Dalam ekosistem ekonomi syariah, sukuk dan reksa dana syariah menjadi pilihan yang menarik.
Sukuk, atau obligasi syariah, berbeda dengan obligasi konvensional karena berbasis pada aset nyata dan tidak bergantung pada bunga. Sukuk tidak hanya memberikan keuntungan bagi investor, tetapi juga mendorong pembangunan infrastruktur dan sektor produktif lainnya. Pemerintah Indonesia telah menggunakan sukuk untuk mendanai proyek-proyek strategis, seperti jalan tol, bandara, dan fasilitas kesehatan (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2024).
Sementara itu, reksa dana syariah juga semakin diminati. Berbeda dengan reksa dana konvensional yang bisa berinvestasi pada perusahaan berbasis alkohol, rokok, atau sektor lain yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, reksa dana syariah hanya berinvestasi di sektor yang lebih stabil dan berkelanjutan. Dengan demikian, risiko volatilitasnya lebih terkendali, menjadikannya pilihan menarik bagi investor yang ingin menghindari risiko tinggi (Bursa Efek Indonesia, 2024).
Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Menopang Stabilitas Ekonomi
Selain pasar modal, lembaga keuangan syariah juga memainkan peran penting dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih sehat. Bank syariah, misalnya, menerapkan sistem pembiayaan berbasis bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah. Model ini memungkinkan bank dan nasabah berbagi keuntungan dan risiko, sehingga lebih adil dibandingkan dengan sistem bunga tetap yang bisa memberatkan salah satu pihak (Bank Indonesia, 2024).
Selain itu, bank syariah lebih fokus pada sektor riil. Dana yang disalurkan benar-benar digunakan untuk aktivitas produktif, seperti pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), agribisnis, serta industri halal. Ini berbeda dengan perbankan konvensional yang sering kali terjebak dalam transaksi spekulatif yang tidak memberikan manfaat langsung bagi perekonomian (Kementerian Investasi/BKPM, 2024).
Tantangan dan Masa Depan Ekonomi Syariah
Meski memiliki banyak keunggulan, ekonomi syariah masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah literasi keuangan syariah yang masih rendah di kalangan masyarakat. Banyak orang masih menganggap sistem ini eksklusif untuk umat Muslim, padahal prinsip-prinsipnya bersifat universal dan dapat diterapkan oleh siapa saja yang menginginkan sistem keuangan yang lebih adil dan transparan (Otoritas Jasa Keuangan, 2024).
Regulasi juga menjadi faktor kunci yang perlu diperkuat. Pemerintah perlu memberikan lebih banyak insentif bagi investor syariah, memperluas akses pembiayaan syariah bagi UKM, serta mendukung perkembangan fintech syariah agar semakin inklusif dan mudah diakses oleh masyarakat luas (Kementerian Investasi/BKPM, 2024).
Namun, peluang bagi ekonomi syariah justru semakin besar. Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya investasi yang berkelanjutan dan bebas dari spekulasi, sistem keuangan syariah berpotensi menjadi pilar utama dalam membangun ekonomi yang lebih stabil dan berdaya tahan terhadap krisis.
Dalam menghadapi ketidakpastian pasar, ekonomi syariah menawarkan stabilitas yang sulit ditandingi oleh sistem keuangan konvensional. Dengan prinsip keadilan, transparansi, dan berbasis pada aset riil, sistem ini memberikan solusi yang lebih aman dan berkelanjutan bagi investor dan pelaku ekonomi.
Sukuk dan reksa dana syariah telah terbukti sebagai instrumen investasi yang lebih stabil, sementara bank syariah terus berperan dalam mendukung sektor riil dan menciptakan kesejahteraan ekonomi.
Kini saatnya ekonomi syariah tidak lagi dipandang sebagai alternatif semata, tetapi sebagai bagian utama dari sistem keuangan global. Dengan peningkatan literasi keuangan, regulasi yang lebih progresif, dan inovasi yang terus berkembang, ekonomi syariah memiliki potensi besar untuk menjadi solusi nyata dalam membangun ekonomi yang lebih inklusif, stabil, dan berkelanjutan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News