Raden Adjeng Kartini, atau R.A Kartini, lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. R.A Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Ia memiliki beberapa saudara kandung dan tiri. Status ayahnya sebagai Bupati Jepara, membuat Kartini lahir dari keluarga kalangan bangsawan Jawa.
Sejak kecil, Kartini telah melihat perlakukan tidak adil yang diterima oleh ibunya walaupun seorang istri bupati. Selain itu, ia juga menyadari perbedaan perlakuan yang diterima oleh anak laki-laki dan perempuan terutama dalam pendidikan. Anak laki-laki memiliki kebebasan untuk mendapatkan pendidikan sedangkan sulit bagi perempuan untuk menggapai pendidikan.
Pada tahun 1885, Kartini memulai pendidikannya di ELS (Europese Lagere School), sekolah khusus untuk anak-anak Eropa dan bangsawan pribumi. Disana, ia belajar Bahasa Belanda yang berguna untuk berkomunikasi dengan temannya di luar negri. Setelah lulus dari ELS pada 1892, saat usianya baru 12 tahun, ia dilarang melanjutkan pendidikan formalnya.
Sesuai dengan adat istiadat yang berlaku bagi anak perempuan, Kartini diwajibkan dipingit di rumah untuk mempersiapkannya menjadi ibu rumah tangga. Meskipun begitu, semangat belajarnya tidak luntur. Kartini belajar secara otodidak dari buku-buku yang ia baca dan berbagai sumber informasi lainnya.
Kartini aktif bertukar pikiran dengan temannya yang berada di Belanda melalui surat-menyurat. Melalui surat-surat itulah, Kartini menambah wawasannya mengenai emansipasi wanita dan gagasan-gagasan baru mengenai kesetaraan hak laki-laki dan perempuan pribumi. Sejak tahun 1898, Kartini semakin giat dalam menulis surat dengan menyoroti ketidakadilan yang diterima oleh perempuan pribumi.
Ia banyak menuangkan pemikiran dan gagasannya mengenai hak-hak perempuan. Pemikiran Kartini yang maju membuat banyak orang mulai menyadari akan pentingnya menyetarakan gender, terutama perempuan pribumi yang dipandang rendah.
Kartini sempat mengajukan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Belanda pada tahun 1903. Pemerintah Belanda menyetujui beasiswa yang diajukan Kartini. Namun impian Kartini harus berhenti, karena Ia harus menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, yang saat itu menjabat sebagai Bupati Rembang.
Meskipun telah menikah, ia tetap berjuang untuk memperjuangkan pendidikan bagi pertemuan pribumi. Suaminya mendukung perjuangan Kartini dengan memberikan Kartini izin untuk membangun sekolah. Sekolah tersebut terletak di Kompleks Pendopo, Kabupaten Rembang. Di sekolah tersebut, ia mengajarkan banyak keterampilan serta pengetahuan dasar seperti membaca dan menulis kepada para perempuan pribumi.
Perjuangan emansipasi Kartini harus berhenti Ketika usianya 25 tahun, karena Kartini meninggal dunia. Ia meninggal pada tanggal 17 September 1903 di Rembang, Jawa Tengah. Kartini menghembuskan nafas terakhirnya empat hari setelah melahirkan putranya, Raden Mas Soesalit. Kondisi kesehatan Kartini menurun setelah melakukan persalinan, dan pada akhirnya ia tidak mampu bertahan.
Pada tahun 1911, seorang teman Belanda Kartini, J.H Abendanon, mengumpulkan surat-surat yang ditulis Kartini dan menerbitkan buku yang berjudul Door Duisternis tot Litch yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kartini dikenal sebagai sosok yang berani dan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai keadaan. Ia merupakan sosok mampu menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan di masa lalu dan masa depan untuk mendapatkan hak yang pantas didapatkan, terutama dalam bidang pendidikan dan kesetaraan gender.
Sekarang, Sekolah Kartini memiliki 7 cabang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini untuk menghormati dan mengenang jasanya dalam memperjuangkan emansipasi wanita serta membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi perempuan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News