Bawah Skor adalah komunitas pengarsipan sejarah sepak bola yang berasal dari Kota Yogyakarta. Berbekal fanatisme dan kesadaran tinggi akan pentingnya sejarah persepakbolaan lokal, terutama Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM), membuat komunitas satu ini tekun mengarsip, meneliti, serta mereproduksi lagi narasi yang terkumpul untuk dijadikan ke berbagai karya.
Penggagasnya ialah Dimaz Maulana, seorang lulusan Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menilai Bawah Skor sebagai bentuk spirit dan kecintaannya terhadap PSIM. Ia terpicu membentuk komunitas tersebut dari kegelisahan tidak adanya pengarsipan di PSIM yang bisa berdampak ketidaktahuan mengenai sejarah dalam diri suporter yang mencintai tim tersebut.
Dimaz sendiri tumbuh sebagai penikmat sepak bola dengan menyaksikan langsung pertandingan demi pertandingan di stadion. Ia menikmati, tapi juga menyimpan rasa kurang nyaman karena merasa stadion di Indonesia dinilainya belum aman terutama untuk anak-anak.
Stadion Ramah Anak
Masih ingat dalam ingatan pencinta sepak bola nasional tentang tragedi Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada 1 Oktober 2022. Ratusan orang meninggal dunia, termasuk puluhan di antaranya adalah anak-anak yang ikut menonton.
Sebagai penggila bola, Dimaz turut mengambil sikap seusai tragedi tersebut. Ia merasa belum berani membawa anaknya untuk bersama-sama menyaksikan pertandingan secara langsung di stadion. Ada banyak pertimbangan yang perlu dilakukan menurutnya, mulai dari apakah infrastruktur stadion sudah memadai sampai sistem pengamanan sudah tertata rapi atau belum.
Dimaz pun bermimpi dan terus berharap agar stadion di Indonesia kelak menjadi lebih ramah anak. Tujuannya apa lagi agar para pencandu bola cilik bisa aman dan nyaman saat menonton pertandingan.
“Stadion ramah anak ini kan salah satu impian. Bagaimana anak-anak ini punya ruang aman dari asap rokok atau yang agak susah (terlindung dari) suara-suara yang tidak tepat, umpatan, misuh segala macam,” kata Dimaz kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Dimaz lantas memberikan contoh lewat pengalamannya saat menyaksikan pertandingan di Inggris. Di negeri sepak bola yang terkenal dengan hooliganisme-nya, ia melihat penonton anak-anak mendapat perlakuan tempat khusus dari pihak stadion agar tidak terpapar hal negatif dari penonton dewasa. Ia pun menilai harusnya PSIM dan klub-klub lokal lain meniru sistem tersebut.
“Seambyar-ambyarnya Millwall, dia punya satu tribune yang jauh dari tribune away, itu tribune untuk anak dan orang yang enggak ingin kena reduksi violence. Millwall kan sangat lekat dengan kekerasan. Aku ke Notts County itu di Nottingham, mereka kecil banget (stadionnya) tapi di sudut tribune anak ada satu kertas untuk mewarnai. Nah, itu menarik, gesture positif banget. Mereka punya sistem itu,” ucap Dimaz.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News