Hujan lebat yang kian menyapa Jakarta, kembali menjadi pertemuan penuh lara. Pemandangan serupa berulang dari tahun ke tahun; jalanan yang berubah menjadi sungai dadakan, rumah-rumah yang terendam, serta ribuan warga yang harus mengungsi dengan penuh kecemasan.
Tak hanya di pusat kota, daerah seperti Bekasi, Depok, dan Bogor pun turut merasakan dampaknya. Seolah tak ada habisnya, permasalahan banjir Jakarta menjadi semakin kompleks, dan menuntut perhatian lebih dari semua pihak.
Curah hujan dengan intensitas tinggi menjadi faktor utama yang tak dapat dihindari. BMKG mencatat bahwa hujan ekstrem dalam beberapa hari terakhir terjadi akibat anomali cuaca yang menyebabkan peningkatan curah hujan secara signifikan.
Hujan deras yang turun dalam waktu lama menyebabkan debit air meningkat drastis, mempercepat genangan di berbagai titik. Kota besar seperti Jakarta seharusnya mampu mengantisipasi kondisi ini dengan sistem drainase yang lebih baik serta perencanaan tata kota yang lebih matang.
Kenyataannya, genangan air tetap terjadi dalam hitungan jam, bahkan berlangsung hingga berhari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur penanggulangan banjir masih belum cukup optimal.
Tak hanya hujan lokal, air kiriman dari daerah hulu turut memperburuk keadaan. Sebagai kota yang berada di dataran rendah, Jakarta menjadi muara dari sungai-sungai besar yang hulunya berada di Bogor dan sekitarnya. Ketika hujan lebat mengguyur kawasan Puncak dan sekitarnya, air akan mengalir ke Jakarta dengan volume yang sulit dikendalikan.
Situasi ini diperparah oleh kondisi sungai yang mengalami pendangkalan serta penyempitan akibat sedimentasi dan sampah. Alhasil, air yang seharusnya mengalir dengan lancar ke laut justru meluap ke pemukiman warga. Peringatan dini tentang kenaikan debit air dari Bendungan Katulampa terkadang tak cukup memberikan waktu bagi warga Jakarta untuk bersiap menghadapi banjir yang datang begitu cepat.
Di sisi lain, genangan air yang tersisa setelah banjir berpotensi membawa risiko kesehatan yang serius. Air kotor yang terkontaminasi limbah dan bakteri dapat menjadi sumber berbagai penyakit, seperti diare, infeksi kulit, hingga demam berdarah. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini berpotensi memicu wabah yang memperburuk situasi pasca-bencana, terutama di daerah padat penduduk yang keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Pemprov DKI Jakarta terus berupaya melakukan penanggulangan dengan berbagai cara. Melalui Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta menegaskan bahwa seluruh pompa air berfungsi dengan normal dalam upaya mengatasi banjir tersebut. Dinas SDA telah menyiagakan 593 unit pompa stasioner yang tersebar di 202 lokasi dan 557 unit pompa mobile yang siap dikerahkan.
Selain itu, 845 pintu air di 589 lokasi strategis juga dioperasikan untuk mengendalikan aliran air. Upaya ini didukung oleh 4.189 personel pasukan biru yang siap siaga menghadapi dampak musim hujan. Salah satu langkah yang diambil adalah pengoperasian tujuh unit pompa di kawasan pesisir utara Jakarta, tepatnya di Muara Angke dan Kali Asin, Jakarta Utara.
Lima unit pompa di Rumah Pompa Muara Angke dengan kapasitas total 7.400 liter per detik dan dua unit pompa di Kali Asin dengan kapasitas total 2.500 liter per detik beroperasi secara bergantian sesuai standar operasional prosedur.
Gubernur DKI Jakarta, memastikan kebutuhan para pengungsi terpenuhi dengan baik. Beliau menegaskan bahwa Pemprov DKI Jakarta siap memenuhi berbagai kebutuhan pengungsi, termasuk makanan, minuman, obat-obatan, susu, popok bayi, alas tidur, selimut, dan keperluan sekolah anak. Selain itu, Dinas Sosial DKI Jakarta telah menyalurkan 46.145 paket makanan kepada warga terdampak banjir sejak 3 Maret hingga 5 Maret 2025.
Sebagai upaya dalam menangani krisis kesehatan akibat banjir yang melanda sejumlah wilayah di Jabodetabek pada Maret 2025, Dinas Kesehatan DKI Jakarta telah mengerahkan Tim Dukungan Kesehatan Lapangan untuk memberikan layanan medis kepada para korban di lokasi pengungsian.
Tim ini akan bertugas sepanjang hari dengan sistem shift di berbagai titik pengungsian yang tersebar di Jakarta. Tentunya, pos mobile juga disiapkan untuk memberikan layanan kesehatan bagi para pengungsi di lokasi pengungsian.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta terus menunjukkan komitmen tinggi dalam menangani sampah pascagenangan. Dinas LH tengah melakukan pengerahan personel dan armada secara masif untuk memastikan kebersihan lingkungan kembali terjaga.
Di wilayah Jakarta Timur, Suku Dinas LH mengerahkan 285 personel untuk membersihkan sampah pasca genangan. Sebanyak 422 kendaraan dinas operasional (KDO) turut dikerahkan, yang terdiri dari sembilan unit truk tronton, 138 dump truck besar, 99 typer kecil, 36 armroll besar, dan 45 unit armroll kecil. Tidak hanya itu, 38 truk compactor besar, 17 compactor kecil, 39 mobil pikap, 14 shovel loader, dan 77 gerobak juga dilibatkan dalam upaya ini.
Jika kita melansir dari kompas.com, beberapa tahun terakhir Jakarta sudah berupaya membantu percepatan pencegahan banjir melalui pemberian dana hibah kepada daerah penyangga; seperti Bogor, Depok dan Kabupaten Bogor.
Pada tahun 2019 disebutkan bahwa Pemprov DKI Jakarta telah mengalokasikan dana hibah senilai 108 miliar rupiah; kemudian pada tahun 2022 juga memberikan dana serupa senilai ratusan miliar, untuk mencegah banjir kiriman ke Jakarta dari wilayah tersebut, namun efektivitas penyaluran dana hibah hingga saat ini masih menjadi pertanyaan.
Alokasi dana hibah yang sudah diberikan sudah seharusnya diperuntukan sesuai dengan tujuan pemberian hibah, yaitu pencegahan banjir. Diperlukan audit secara menyeluruh agar hibah yang diberikan menjadi tepat guna, serta mencegah adanya praktik-praktik penyelewengan dana.
Saat air surut yang dibutuhkan korban banjir bukanlah perdebatan, melainkan sebuah uluran tangan. Setiap langkah, setiap kebijakan, setiap bentuk kepedulian adalah jembatan menuju pemulihan.
Perbedaan strategi dalam merespon banjir sebaiknya tidak perlu dipertentangkan. Ini merupakan sebagai bagian dari bentuk saling melengkapi demi kepentingan bersama. Saatnya kita bersatu, bergotong royong, dan mencari solusi jangka panjang agar kejadian serupa dapat diminimalkan di masa depan; karena yang mereka tunggu bukan kata-kata, tapi bukti bahwa kita ada.
Banjir Jakarta bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga soal kesadaran kolektif. Kota ini harus berbenah, tidak hanya dari sisi infrastruktur, tetapi juga pola pikir warganya. Sudah saatnya kita lebih peduli terhadap lingkungan, mulai dari menanam lebih banyak pohon, mengelola sampah dengan lebih baik, hingga mendukung kebijakan tata ruang yang lebih berorientasi pada keberlanjutan.
Menghadapi tantangan ini, kita perlu bertanya kembali dan merefleksi diri “apakah kita ingin terus menyalahkan alam, atau mulai berkontribusi dalam perubahan nyata?” Sebab, banjir bukan sekadar bencana yang datang begitu saja, melainkan hasil dari akumulasi keputusan dan tindakan kita semua.
Kini, keputusan ada di tangan kita, apakah kita ingin terus bertahan dalam siklus yang sama, atau berusaha membangun Jakarta yang lebih tangguh dan bersahabat dengan alam.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News