Agama yang diyakini sebagai ajaran penuntun jalan untuk umat manusia dalam berkehidupan baik bertingkah laku maupun bertindak di masyarakat tentunya sebagai kontrol sosial karena, terikat secara batin dengan ajaran agama masing-masing. Setiap agama mengejarkan kebaikan, menjauhi sesuatu yang dilarang, dan apabila berbuat dosa harus bertobat kembali ke jalan yang benar.
Di Indonesia sendiri dengan keberagaman 6 agama yang diakui seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, serta Konghucu dapat hidup berdampingan saling mengasihi menghargai nilai-nilai yang dianut satu sama lain.
Walaupun hanya ada enam agama yang diakui tetapi dengan keberagaman ras, suku, budaya Indonesia mempunyai banyak aliran kepercayaan atau agama lokal. Salah satunya, To Lotang yang menjadi agama suku Bugis pada masyarakat Sulawesi Selatan khususnya di Sidenreng Rappang.
Penganut To Lotang mempunyai tradisi dan keyakinan yang banyak serta berbeda dengan ajaran pada agama resmi. Mereka berpegang teguh pada “Lontara’ Appongenna Tolotang”. Dalam istilah Tolatang berasal dari kata Tau yang berarti orang dan Lotang yang artinya selatan. Secara bahasa To Lotang memiliki arti orang selatan.
Disampaikan secara turun-temurun melalui tradisi lisan, ajaran agama lokal yang dianut oleh masyarakat Bugis To Lotang tidak dituliskan dalam kitab sehingga berusaha menyesuaikan dengan ajaran Hindu yang didasarkan pada kitab Weda.
Mereka tidak mempercayai konsep reinkarnasi namun percaya adanya hari kiamat kelak yang disebut dengan Lino Paimeng. Pada tersebut ada lagi tempat bernama Lipu Bonga sebagai tempat bagi orang yang mentaati perintah Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa). Tidak juga mempunyai konsep mengenai neraka, ajaran-ajaran yang mereka anut disampaikan oleh La Panaugi sebagai nabi mereka tetapi, mereka mengenal Baliwindru segala perbuatan manusia yang baik maupun tidak akan dibalas ketika masih hidup ataupun nanti di akhirat kelak.
Jika dilihat dari sejarahnya, awal mula lahirnya masyarakat To Lotang yang memiliki kepercayaan lokal sudah ada sebelum datangnya Islam. Kemudian, ketika ajaran Islam masuk mendapat penolakan, maka Addatuang Wajo memerintahkan untuk pergi meninggalkan desa.
Namun, terjadi benturan dalam perjanjian ketika masyarakat bergabung terlebih dahulu dengan keluarga yang tinggal di Sidenreng Rappang ketua adat meminta masyarakat memeluk Islam secara paksa. Tetapi masyarakat tetap teguh memilih kepercayaan Hindu yang sudah diturunkan secara turun-temurun oleh leluhurnya.
Berikut merupakan aspek kearifan lokal pada masyarakat Bugis To Lotang dalam konsep Perrinyameng yang bermakna susah terlebih dahulu baru senang. Aspek tersebut terdiri dari:
1. Ikatan dengan Dewata Seuwae
Dalam hal ini masyarakat mempercayai adanya Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa) dengan Passuroang yaitu, menjalankan perintah atau kewajiban serta Pappesangka atau larangan seperti makan babi, berzina, membunuh, memfitnah, berbohong.
2. Relasi dengan Manusia
Terdapat filosofi “Namo tongekki’ narekko maelo tongeng tuae patongengngi” jika kita merasa benar dan orang lain memiliki perspektif yang berbeda dan mempunyai nilai kebenaran maka dari itu seseorang harus mengalah demi kedamaian kebersamaan. Kemudian, “Narekko siduppako taue lesseko” bermakna dalam berkehidupan sehari-hari harus saling menghargai satu sama lain dan tidak menang sendiri.
Butapi matarupi berlaku bagi masyarakat Bugis To Lotang filosofi ini bermakna perbuatan maupun perkataan dari seseorang tidak semuanya harus ditanggapi apabila sesuatu memicu pada konflik. Selain itu, petuah Taroi masola taue na aja mua idi’ nassabari yang dapat diartikan seseorang harus berhati-hati dalam berbicara, bertingkah laku sehingga orang lain tidak celaka.
3. Hubungan dengan Alam
Sudah seharusnya manusia dapat menjaga alam, membiarkan wilayahnya hijau ditumbuhi rumput. Jangan sampai suatu tempat berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti dieksploitasi secara ilegal demi keuntungan, keberlangsungan ekosistem yang terganggu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News