Menjelang bulan suci Ramadan, masyarakat Jawa memiliki tradisi khas yang dikenal dengan unggah-unggahan. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan persiapan menyambut bulan yang penuh berkah.
Salah satu ciri khas unggah-unggahan adalah berbagi makanan dengan keluarga, tetangga, dan orang-orang di sekitar. Lebih dari sekadar tradisi, kegiatan ini mencerminkan semangat kebersamaan, gotong royong, dan rasa syukur.
Asal-usul dan Makna Unggah-unggahan
Secara etimologis, kata unggah dalam bahasa Jawa berarti “menaikkan” atau “mengangkat”. Dalam konteks tradisi, unggah-unggahan diartikan sebagai upaya menaikkan semangat spiritual dan sosial dalam menyambut bulan Ramadan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang masyarakat Jawa dan diwariskan secara turun-temurun.
Menurut Koentjaraningrat, seorang ahli antropologi Indonesia, tradisi semacam ini merupakan bentuk ritual sosial yang bertujuan memperkuat solidaritas komunitas dan memperdalam nilai-nilai keagamaan. Dengan berbagi makanan, masyarakat tidak hanya mempererat tali silaturahmi, tetapi juga mengingatkan pentingnya berbagi rezeki dengan sesama.
Tradisi Berbagi Makanan: Simbol Syukur dan Kebersamaan
Salah satu elemen utama dalam tradisi unggah-unggahan adalah berbagi makanan. Masyarakat biasanya menyiapkan hidangan khas, seperti apem, ketan, dan nasi berkat. Makanan-makanan ini tidak dipilih secara acak, melainkan memiliki makna filosofis.
- Apem: Kue tradisional berbahan dasar tepung beras ini melambangkan permohonan maaf. Kata “apem” sendiri berasal dari kata Arab “afwan” yang berarti “maaf”. Membagikan apem adalah cara masyarakat meminta dan memberikan maaf menjelang Ramadan.
- Ketan: Makanan ini melambangkan kebersamaan yang erat, seperti teksturnya yang lengket. Tradisi membagikan ketan mengingatkan bahwa dalam menyambut bulan suci, penting untuk memperkuat ikatan sosial.
- Nasi Berkat: Biasanya dibungkus dalam wadah sederhana dan dibagikan setelah acara doa bersama. Nasi ini melambangkan rezeki yang diberkahi dan diharapkan dapat membawa kebahagiaan bagi yang menerimanya.
Pelaksanaan Unggah-unggahan di Masyarakat
Tradisi unggah-unggahan biasanya dimulai dengan kerja bakti membersihkan rumah, lingkungan, hingga tempat ibadah. Setelah itu, keluarga akan menyiapkan makanan untuk dibagikan. Momen ini sering kali diiringi dengan doa bersama di masjid atau mushola setempat.
Seperti halnya yang terjadi di Pedukuhan Kueni Kabupaten Tegal, disini unggah-unggahan dilaksanakan dengan menggelar doa bersama di sebuah Masjid, di pimpin oleh pemuka agama setempat, dan kemudian membagikan nasi berkat kepada masyarakat yang telah hadir.
Di beberapa daerah, seperti Banyumas, Yogyakarta, Solo, dan Magelang, tradisi ini juga dikaitkan dengan nyadran, yaitu ziarah ke makam leluhur. Masyarakat membersihkan pusara, menabur bunga, dan memanjatkan doa sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga yang telah meninggal.
Di era modern, tradisi unggah-unggahan terus berkembang tanpa meninggalkan esensinya. Selain membagikan makanan secara langsung, kini banyak yang mengirimkan paket makanan melalui layanan pengiriman. Media sosial juga dimanfaatkan untuk mengajak orang lain berbagi rezeki dengan sesama.
Namun, di balik kemudahan ini, nilai kebersamaan tetap dijaga. Masyarakat percaya bahwa tradisi ini bukan sekadar tentang makanan, tetapi tentang membangun rasa empati, syukur, dan kebersamaan menjelang Ramadan.
Tradisi unggah-unggahan bukan hanya warisan budaya, tetapi juga pengingat akan pentingnya berbagi dan mempersiapkan diri secara spiritual. Dengan semangat gotong royong dan kepedulian sosial, tradisi ini terus lestari dan relevan, bahkan di tengah perubahan zaman.
Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa menyambut Ramadan dengan hati yang bersih, penuh rasa syukur, dan semangat kebersamaan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News