mengenal festival film tertua dan tertinggi di indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Mengenal Festival Film Tertua dan Tertinggi di Indonesia, Sebuah Perayaan Perjuangan Perfilman Nasional

Mengenal Festival Film Tertua dan Tertinggi di Indonesia, Sebuah Perayaan Perjuangan Perfilman Nasional
images info

Menjadi festival film tertua di Indonesia, Festival Film Indonesia (FFI) telah diadakan sebanyak 44 kali hingga tahun 2024. Menggandeng Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) dan Badan Perfilman Indonesia (BPI), ajang penghargaan film tertinggi di Indonesia ini berhasil berjalan apik dan sukses di November 2024 lalu.

Terlebih, pencapaian perfilman Indonesia sangat membanggakan di 2024. Menurut data yang telah dikumpulkan GoodStats, jumlah penonton film Indonesia di 2024 mencapai angka 80.182.550. Bahkan, Prilly Latuconsina yang membacakan Penghargaan Antemas di Festival Film Indonesia (FFI) 2024 juga mengatakan bahwa jumlah ini telah melebihi jumlah penonton film asing di sepanjang tahun kemarin.

Menunggu Gebrakan Ario Bayu yang Terpilih Sebagai Ketua Komite FFI 2024

Namun, perjalanan industri perfilman di Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Ada masa di mana jumlah penonton tidak sesuai target karena beberapa faktor, mulai dari adanya persaingan dengan film asing, kondisi ekonomi-politik yang tidak menentu, hingga pandemi seperti yang terjadi di Indonesia pada 2020 lalu.

Bahkan, sejarah mencatat bahwa awal mulai ajang penghargaan ini dibuat adalah karena adanya kondisi yang mengkhawatirkan pada perfilman nasional di era 1955. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Sejarah Festival Film Indonesia

Usmar Ismail dan Djalaluddin Malik, adalah dua tokoh utama dibalik pembentukan FFI. Kedua pioner ini melihat bahwa kondisi perfilman Indonesia sedang tidak baik-baik saja di tahun itu.

Film nasional babak belur baik di kelas atas maupun bawah. Bioskop kelas atas menolak untuk memutarkan film nasional karena dimonopoli oleh film-film Amerika. Begitu pula dengan kelas bawah yang membut film nasional harus bersaing dengan maraknya film-film India dan Malaysia.

Untuk menarik perhatian masyarakat Indonesia dengan menunjukkan bahwa kualitas perfilman Indonesia diakui baik sehingga layak diberikan penghargaan, maka dibuatlah Pekan Apresiasi Film Indonesia yang sekarang berganti nama menjadi FFI. Nama "pekan" dipilih kala itu, karena acara ini awalnya memang diselenggarakan dalam seminggu penuh, yaitu dari 30 Maret–5 April 1955.

Banyaknya hambatan saat itu membuat Pekan Apresiasi Film Indonesia tidak dapat diadakan setiap tahun. Setidaknya, ia pernah berlangsung 3 kali, yaitu di tahun 1955, 1960, dan 1967.

Pada tahun 1973 Yayasan Film Indonesia (YFI) melanjutkam estafet festival film dengan menggunakan nama baru yang sekarang dikenal dengan Festival Film Indonesia.

Namun, sejak 1982 FFI tak lagi dikelola oleh YFI, tetapi berada di bawah bendera Dewan Film Nasional yang dibentuk oleh Departemen Penerangan Republik Indonesia (sekarang disebut Kementerian Komunikasi).

Masa Krisis hingga Bangkitnya Perfilman Indonesia

Sejak saat itu, FFI sempat rutin diadakan setiap tahun, sebelum akhirnya pagelaran terakhirnya diselenggarakan di tahun 1992. Penyebabnya adalah karena perfilman Indonesia mengalami krisis berat.

Pasar film dikuasai oleh film Hollywood dan Hongkong, munculnya berbagai teknologi baru seperti LD, VCD dan DVD, serta minimnya kebebasan berkarya waktu itu yang membuat film Indonesia hanya bisa dihasilkan 2-3 film saja tiap tahun.

Setelah 12 tahun vakum, FFI akhirnya diselenggarakan lagi di tahun 2004. Acara penghargaan ini kembali setelah melihat jumlah produksi film Indonesia mengalami kenaikan secara signifikan, diikuti dengan jumlah penonton film yang juga semakin bertambah. Momen ini dipercayai sebagai awal mula kebangkitan perfilman Indonesia.

FFI pun terus diadakan setiap tahun, meski beberapa kali berganti penyelenggara acara. Komite Festival Film Indonesia sendiri telah menggantikan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sejak 2009.

Piala Citra

"Citra" adalah judul sebuah sajak karya sang pendiri FFI, Usmar Ismail. Citra sendiri memiliki arti suatu bayangan atau image.

Terinspirasi dari sajak tersebut, piala yang diberikan kepada para pemenang FFI kemudian disebut sebagai Piala Citra. Pemenang piala ini berarti berhasil mendapatkan lambang prestasi tertinggi untuk bidang perfilman.

Desainer awal Piala Citra adalah Gregorius Sidharta, seorang seniman patung. Desain pialanya digunakan hingga tahun 2007, lalu berganti dengan desain baru karya kolaborasi Heru Sudjarwo, Prof. Yusuf Affendi, Dan Hisman Karta Kusumah, Indros Sungkowo, dan Bambang Noorcahyo di tahun 2008. Desain baru ini melambangkan semangat baru bagi FFI.

Namun, desain baru piala ini tidak bertahan lama, karena pada FFI 2014 desain piala kembali ke bentuk awal karya Sidharta dengan sedikit modifikasi oleh Dolorosa Sinaga, anak didik Sidharta. Alasan pengembalian desain ini karena FFI diharapkan dapat kembali ke semangat awalnya dulu saat FFI pertama kali dibuat.

Mengenal Lebih Dekat dengan Bapak Perfilman Indonesia

Usmar Ismail pernah berkata, "Pembuatan film tidak bergantung pada soal komersial belaka, melainkan hasil karya seni yang bebas dan mencerminkan kepribadian nasional."

Semoga semangat ini terus bisa dikobarkan oleh para pegiat film tanah air, sehingga pagelaran FFI akan semakin baik pula setiap tahunnya. Lebih lanjut lagi, semoga film-film nasional selalu bisa menjadi raja di negaranya sendiri, ya, Kawan!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AD
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.