Kawan GNFI, pernah nggak penasaran kira-kira kota apa yang memiliki curah hujan tertinggi di Indonesia? Pasti banyak dari kalian yang sudah tahu jawabannya. Yap, Kota Bogor merupakan kota dengan curah hujan paling tinggi di Indonesia.
Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), jika dibandingkan dengan rata-rata curah hujan nasional yang berada di angka 2.898 mm per tahun, curah hujan di kota Bogor mencapai rata-rata 3.500-4.000 mm per tahun.
Tak heran kota Bogor dijuluki sebagai Kota Hujan. Uniknya, tidak hanya eksis di masa kini, julukan Bogor sebagai Kota Hujan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Kira-kira apa faktor yang menyebabkan kota ini memiliki curah hujan yang tinggi? Lalu bagaimana aktifitas Belanda di Kota Hujan pada masa kolonialisme?
Faktor Geografis Penyebab Curah Hujan Tinggi di Bogor
Menurut pakar meteorologis IPB, Sonni Setiawan, setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi tingginya intensitas hujan di Bogor. Letak topografis adalah salah satu faktor utama tingginya curah hujan di kota ini.
Bogor terletak di kaki dua gunung, Gunung Salak di wilayah barat dan Gunung Gede di wilayah selatan. Selain kedua gunung tersebut, wilayah ini juga dikeliling oleh pegunungan-pegunungan kecil di sekitarnya. Hal ini menyebabkan Bogor sering mengalami hujan orografis, di mana udara lembab dari Laut Jawa naik dan mengembun menjadi hujan di atas pegunungan.
Selain itu, angin muson juga berpengaruh terhadap cuaca di Kota Hujan. Adanya angin muson barat yang berhembus dari wilayah Asia dan muson timur yang berhembus dari Australia memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penguapan air dan menghasilkan hujan. Ditambah lagi dengan letak Bogor yang berada di Daerah Konvergensi Antar Tropis (DKAT) semakin menambah intensitas hujan di kota ini.
Aktivitas Belanda di Bogor Selama Masa Penjajahan
Pasca kekalahan Kerajaan Pajajaran atas Kerajaan Banten, di tahun 1705, setelah perjanjian dengan Mataram, Bogor menjadi bagian dari kekuasaan VOC. Jatuhnya Bogor ke tangan Belanda menjadikan wilayah ini resmi sebagai wilayah koloni Belanda yang dipimpin oleh Letnan Tanu Wijaya. Wilayah kepemimpinannya saat itu bernama Kampung Baroe.
Hingga di tahun 1744, Gubernur Jendral Belanda, G. W. Baron van Imhoff, melakukan ekspedisi ke wilayah selatan Batavia. Ekspedisi ini bertujuan untuk mencari tempat peristirahatan bagi kaum aristokrat Belanda yang tinggal di Batavia. Dalam ekspedisi tersebut, Kampung Baroe dipilih sebagai tempat peristirahatan karena letaknya yang strategis dan suasananya yang sejuk. Selanjutnya Belanda memberi nama tempat ini Buitenzorg yang berarti daerah tanpa kecemasan.
Setahun kemudian, pada tahun 1745, Gubernur Jenderal van Imhoff (1745-1750) memerintahkan pembangunan Istana Bogor sebagai tempat pesangrahan Sang Gubernur Jendral. Setelah pembangunan ini, wilayah sekitar istana mengalami kemajuan yang pesat dan semakin diperluas. Hingga selanjutnya, pada tanggal 18 Mei 1817, atas usulan ahli botani Belanda, C.G.K. Reinwardt, Kebun Raya Bogor resmi didirikan sebagai pusat penelitian dan konservasi tanaman tropis.
Diambil dari republika.co.id, dengan perkembangan yang semakin pesat dan suasana yang masih asri, di tahun 1912, seorang penulis Belanda menceritakan bahwa Buitenzorg menjadi destinasi favorit warga Belanda dan orang-orang-orang kaya untuk menghabiskan akhir pekan dan melarikan diri dari sumpeknya Batavia.
Pengaruh Curah Hujan Tinggi di Bogor terhadap Kehidupan di Masa Kolonial
Seperti yang sudah Kawan GNFI ketahui sebelumnya, wilayah Buitenzorg merupakan wilayah pegunungan yang subur dan bercurah hujan tinggi. Dikutip dari artikel karya Budiman dalam Jurnal Panalungtik, pasca kebijakan revolutiebouw (revolusi pembangunan), pemerintah Belanda melakukan perncanaan saluran air guna mengantisipasi banjir dan mendukung pertanian. Sistem manajemen air diwujudkan dengan dibangunya stasiun pompa air, jaringan pipa, selokan tepi jalan, tanggul, dan sistem saluran air.
Curah hujan yang tinggi juga memengaruhi aktivitas pertanian dan perkebunan di Buitenzorg. Para pengelola perkebunan Belanda harus menyesuaikan jadwal tanam dan panen dengan pola hujan yang ada. Mereka memilih jenis tanaman yang cocok dengan kondisi iklim basah dan tanah vulkanik yang subur, seperti teh dan kopi.
Frekuensi hujan yang sering juga berdampak pada mobilitas pejabat Belanda dan masyarakat lokal. Masih merujuk pada Jurnal Panalungtik, seringkali jalanan di Buitenzorg rusak akibat air hujan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah kolonial membangun jalan dengan material batu kali yang kuat terhadap air untuk memastikan aksesibilitas antarwilayah tetap terjaga.
Pengaruh curah hujan harian yang tinggi juga ditemukan pada arsitektur bangunan. Masyarakat membangun rumah dengan atap limasan yang miring dan curam untuk memastikan air hujan cepat mengalir dan tidak meresap ke dalam rumah.
Sejarah Bogor sebagai Buitenzorg di masa kolonial Belanda mencerminkan bagaimana curah hujan Bogor yang tinggi membentuk tata kota, aktivitas perkebunan, dan gaya hidup masyarakat kala itu. Kombinasi antara warisan kolonial seperti Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor dengan suasana kota ini menciptakan identitas Kota Hujan yang bertahan hingga kini.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News