Rampak Buto Gedruk, atau yang kerap disebut "Gedruk" saja, adalah salah satu kesenian yang berasal dari lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rampak memiliki arti banyak pakaian dan perhiasan yang dikenakan.
Hal itu senada dengan kostum yang dikenakan oleh para pemain Gedruk yang amat berwarna dan dipenuhi artistik. Biasanya, kostum Gedruk yang lengkap adalah perpaduan antara topeng buto, krincing kaki, jarik, hingga baju dan celana yang warna-warni.
Kata Buto sendiri berasal dari Bhuta Kala, yaitu sebuah ajaran Hindu Dharma yang merepresentasikan bhu (kekuatan) alam semesta dan kala (waktu) yang tak terbatas sehingga Buto digambarkan sebagai sosok raksasa yang tinggi besar dan bertampang seram. Oleh karena itu, topeng Buto yang dipakai oleh pemain Gedruk juga berbentuk seperti makhluk seram dengan mata yang membelalak dan gigi yang besar-besar.
Sedangkan Gedruk secara etimologis memiliki arti hentakan kaki. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan cara menari para pemain Gedruk yang dilakukan dengan menghentakkan kaki mereka ke tanah sehingga akan menimbulkan suara krincing yang membuat pertunjukan semakin meriah.
Baca juga: Bondowoso dan Berbagai Macam Kesenian Daerahnya yang Memukau
Filosofi Gedruk
Tak hanya dapat dinikmati tariannya saja, Gedruk juga bia dikulik makna kehidupan atau filosofi di dalamnya. Filosofi tersebut berkaitan dengan sindiran kepada manusia dan sifat-sifat buruk yang dimilikinya. Topeng-topeng Gedruk yang berwujud amat seram merupakan representasi dari sifat-sifat buruk manusia, seperti iri dan dengki.
Pada saat pertunjukan, topeng Buto yang amat seram dipakai untuk dipertontonkan di depan orang banyak. Hal itu menyimpan arti jika seorang manusia memliki sifat buruk, maka ia juga akan menjadi tontonan atau gunjingan banyak orang.
Kemudian, saat babak pertengahan menuju akhir pertunjukan, para pemain Gedruk akan sedikit menurunkan tempo tarian karena topeng mereka yang telah dicopot dan musik pengiring yang telah memainkan irama santai.
Filosofi dari babak tersebut ialah setelah seseorang digunjingi banyak orang, maka ia harus segera melepaskan sifat buruk yang dimilikinya dan kembali menjadi manusia yang baik.
Hal itu tentu saja berbeda dari kesenian asal Magelang lain yang hampir mirip dengan Gedruk, yaitu Topeng Ireng. Jika kesenian Gedruk di tengah pertunjukannya mencopot topeng, maka Topeng Ireng tidak.
Pemain dalam kesenian Topeng Ireng hanya memakai sebuah hiasan kepala yang semacam mahkota, sedangkan wajah mereka diwarnai oleh make up warna-warni. Dengan itu, Topeng Ireng menunjukkan bahwa semua manusia adalah makhluk yang sama di hadapan Tuhan.
Baca juga: Merayakan Warisan Budaya Topeng Kawedar Melalui Grebeg Topeng Ireng
Gedruk di Tengah Perkembangan Zaman
Di zaman digitalisasi teknologi ini, eksistensi Gedruk nampaknya tidak pernah pudar. Baik dalam bentuk pertunjukan yang langsung dipertontonkan di lapangan atau alih wahana ke dalam bentuk audiovisual, Gedruk tetap diminati banyak orang. Bahkan, digitalisasi teknologi semakin dimanfaatkan oleh sanggar-sanggar Gedruk untuk mengenalkan kesenian ini di ranah yang lebih luas.
Oleh beberapa pihak, Gedruk malah sudah dikenalkan hingga ke luar negeri. Pada tahun 2019, New Zuguz Gedroex, sebuah sanggar asal Sleman, membawakan penampilan Gedruk di Hachinohe, Jepang. Kemudian, pada 2023 lalu, channel YouTube bernama WahyuShop mengunggah sebuah video yang menampilkan kehadiran Gedruk pada saat perayaan Haloween di New Orleans, Amerika Serikat.
Tak kalah unik, Deni Ramadhan, seorang selebgram Indonesia yang tinggal di Jepang juga menghebohkan perayaan Halloween di Osaka dengan penampilannya di depan publik menggunakan kostum Gedruk yang amat lengkap.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News