Perayaan Imlek, atau Tahun Baru Imlek, merupakan salah satu tradisi yang paling penting bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di negara yang kaya akan keragaman budaya ini, Imlek tidak hanya sekadar perayaan tahun baru, tetapi juga simbol identitas dan harapan bagi masyarakat Tionghoa.
Sejarah masuknya tradisi Imlek di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang dan kompleks, dimulai dari kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara hingga pengakuan resmi perayaan ini sampai menjadi hari libur nasional. Kawan kepo nggak, sih, bagaimana sejarah imlek sampai bisa diakui di Indonesia?
Awal Kedatangan Etnis Tionghoa
Sejak abad ke-3 hingga ke-5 Masehi, kelompok masyarakat Tionghoa pertama kali tiba di Indonesia untuk berdagang. Mereka menjalin hubungan komersial dengan kerajaan-kerajaan lokal seperti Sriwijaya dan Majapahit, membawa barang-barang bernilai tinggi seperti sutra dan rempah-rempah.
Interaksi awal ini menjadi awal mula hubungan yang lebih erat dan integrasi budaya yang terus berkembang seiring waktu, terutama dengan kedatangan gelombang migrasi berikutnya.
Perlu Kawan ketahui, pada abad ke-17, ketika Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda, terjadi migrasi besar-besaran etnis Tionghoa ke wilayah Nusantara. Banyak dari mereka menetap di kota-kota pesisir, seperti Batavia (kini Jakarta), Semarang, dan Surabaya.
Kehadiran mereka memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan ekonomi, serta membawa pengaruh yang mendalam pada kehidupan sosial dan budaya. Dalam proses tersebut, tradisi perayaan Imlek mulai diperkenalkan dan dirayakan oleh komunitas Tionghoa yang telah menetap di tanah Indonesia.
Perayaan Imlek di Indonesia dan Sejarahnya
Sejak kedatangan mereka, perayaan Imlek telah menjadi bagian integral dari kehidupan komunitas Tionghoa di Indonesia. Tradisi ini melambangkan harapan baru, kesejahteraan, dan kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga. Perayaan ini biasanya juga dilakukan dengan mengadakan pertemuan keluarga.
Tidak luput dari sejarahnya. Awalnya, pada era Orde Lama, tepatnya pada tahun 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah No. 2/OEM-1946 yang mengatur hari raya umat beragama, termasuk Imlek sebagai hari raya resmi bagi etnis Tionghoa. Pengakuan ini menandai langkah positif dalam pengakuan budaya Tionghoa di Indonesia.
Namun, situasi berubah drastis pada era Orde Baru (1967-1998). Di bawah pemerintahan Soeharto, perayaan Imlek sempat dilarang secara terbuka melalui Instruksi Presiden No. 14/1967. Kebijakan ini membatasi perayaan hanya di lingkungan keluarga dan ruangan tertutup, tanpa izin untuk merayakannya secara publik.
Pelarangan ini mencerminkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap komunitas Tionghoa, yang dianggap sebagai kelompok yang berpotensi menimbulkan ketidakstabilan.
Baca Juga: Wisata Imlek di Singkawang, Bersiap Menyaksikan Meriahnya Festival Cap Go Meh 2025
Salah satu faktor pelarangan perayaan Imlek utamanya adalah sentimen anti-Tiongkok yang muncul pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) tahun 1965. Pada masa itu, etnis Tionghoa kerap dicurigai memiliki keterkaitan dengan komunisme, dan pemerintah memandang mereka sebagai ancaman yang berpotensi mengganggu stabilitas negara, terutama karena hubungan mereka dengan Tiongkok.
Selain itu, Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 secara tegas membatasi ekspresi budaya dan keagamaan Tionghoa. Perayaan Imlek, misalnya, hanya diperbolehkan dalam lingkup keluarga dan dilakukan di ruang tertutup.
Bahkan, kegiatan seperti barongsai dan penggunaan bahasa Mandarin turut dilarang, mencerminkan kebijakan pemerintah untuk membatasi ruang gerak budaya Tionghoa.
Kebijakan asimilasi budaya yang dicanangkan pemerintah Orde Baru juga menjadi salah satu penyebab utama. Dalam upaya tersebut, warga keturunan Tionghoa didorong untuk melebur dengan budaya lokal dan meninggalkan identitas budaya mereka. Langkah ini dinilai melanggar hak asasi manusia, khususnya dalam hal kebebasan berekspresi dan berbudaya.
Baca Juga: Imlek Tahun 2025 Shio Ular Kayu, Imlek Tahun 2026 Shio Apa?
Di sisi lain, pemerintah juga berdalih bahwa budaya Tionghoa dapat memberikan pengaruh psikologis dan moral yang dianggap kurang sesuai dengan masyarakat Indonesia. Dengan alasan tersebut, pembatasan terhadap ekspresi budaya Tionghoa diterapkan sebagai bagian dari upaya untuk menjaga moralitas dan mentalitas bangsa.
Reformasi dan Pengakuan Kembali
Larangan terhadap perayaan Imlek akhirnya dicabut pada masa reformasi, tepatnya pada tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6/2000.
Keputusan ini memberikan kembali hak-hak kultural komunitas Tionghoa, termasuk kebebasan merayakan Imlek secara terbuka. Langkah ini menjadi tonggak bersejarah dalam pengakuan terhadap keberagaman budaya di Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden No. 19/2002. Kebijakan ini tidak hanya menandai pengakuan resmi terhadap hak-hak budaya komunitas Tionghoa. Namun, juga mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme dan toleransi antarbudaya di Indonesia.
Baca Juga: Mengenal Makanan Khas Imlek, Sajian Akulturasi Budaya Tionghoa dan Citarasa Indonesia
Tradisi Imlek di Indonesia mencerminkan perjalanan panjang dari kedatangan awal etnis Tionghoa hingga pengakuan resmi sebagai bagian dari kekayaan budaya nasional. Perayaan ini tidak hanya menjadi simbol identitas budaya bagi komunitas Tionghoa tetapi juga menunjukkan proses akulturasi yang harmonis dengan budaya lokal.
Meski sempat dilarang pada masa Orde Baru, kini Imlek dirayakan secara terbuka dan meriah, menjadi wujud nyata dari semangat persatuan dan keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Memahami sejarah dan perkembangan tradisi Imlek di Indonesia memberi Kawan kesempatan untuk menghargai nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Imlek bukan hanya momen istimewa bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang memperkuat semangat saling menghormati. Melalui perayaan ini, seluruh masyarakat diajak untuk saling memahami dan merayakan keberagaman sebagai kekuatan bersama.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News