Bagus Putra Muljadi adalah akademisi Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sosoknya menarik, karena ia lulus telat waktu dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tidak menembus angka tiga.
Namun, Bagus membuktikan nilai akademik yang kecil bukanlah tolok ukur dalam mengejar kesuksesan. Seusai mendapat gelar sarjana, ia justru lebih tekun belajar dan sanggup menyelesaikan gelar master dan doktornya di bidang mekanika terapan di National Taiwan University (NTU).
Kini Bagus menjadi asisten profesor di Departemen Teknik Lingkungan dan Kimia Universitas Nottingham, Nottingham, Inggris. Tugasnya tidak hanya mengajar, tapi juga menjembatani dosen dan peneliti Indonesia dengan instansi luar negeri.
Sebagai akademisi, Bagus memiliki rasa kepedulian tinggi terhadap nasib anak muda yang mendapat asupan pendidikan di Indonesia. Menurutnya, anak muda Indonesia tidak seperti yang media-media gambarkan.
Pekerja Kerah Biru
Membicarakan anak muda tidak bisa lepas dari Generasi Z yang lahir pada rentang tahun 1997-2012. Stigma melekat kepada mereka, di mana sejumlah media dan pengamat santer menyebut Gen Z sebagai generasi yang berpenghasilan rendah tapi gemar hura-hura. Selain itu, suara-suara pendapat mengenai mereka kurang produktif di dunia kerja sering pula menggema.
Namun, tentu tidak semua Gen Z begitu. Tetap ada sisi positif dalam diri Gen Z yang dicap sebagai generasi yang melek teknologi internet. Kesadaran mereka pun tinggi terhadap pendidikan. Buktinya dalam data GoodStats yang mengutip survei Jakpat, menyebut sebanyak 65 persen anak Gen Z memiliki hasrat kuliah yang tinggi demi membanggakan keluarga.
Bagus pun mencoba meluruskan melalui perspektifnya mengenai anak muda Indonesia. Menurutnya, anak muda Indonesia itu tidak seperti yang diberitakan media karena sebagian adalah pekerja kerah biru yang perlu bantuan akses pendidikan.
“Anak muda kita itu bukan yang digambarkan media sebagai orang yang berdesain baju anime, minum kopi di SCBD harga kopinya. Anak muda kita itu 20 persen pekerja kerah biru dan mereka butuh bantuan, tidak bisa bisa mengakses pendidikan yang formal,” kata Bagus kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Ada anggapan begitu mudahnya mengakses pendidikan jika anak muda Indonesia tinggal di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Bagus lantas menyebut ini adalah privilege (keistimewaan). Akan tetapi, ia percaya anak muda Indonesia tidak selamanya bergantung dengan privilege semacam itu karena kompetensi bisa lebih menjamin untuk masa depannya.
“Anak muda tidak bingung antara kompetensi dengan keistimewaan atau privilege. Unless and until we recognize the true face of our young, you cannot make any meaningful policies that could empowered at them,” ucap Bagus.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News