Bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS diprediksi dapat membantu memperkuat ekonomi Indonesia di dunia. Peluang untuk menjadi pemain kunci dalam tata dunia baru juga semakin terbuka lebar.
Akan tetapi, masuknya Indonesia ke dalam blok ekonomi ini disebut sebagai “cara” untuk meninggalkan blok barat. Benarkah demikian?
Kawan GNFI, BRICS merupakan sebuah forum kerja sama ekonomi yang diprakarsai oleh Rusia, Tiongkok, dan negara-negara Global South. Kelompok ini menjadi tantangan negara-negara barat yang didominasi Amerika Serikat, karena dianggap berupaya melakukan dedolarisasi serta mengubah sistem moneter dan keuangan internasional.
Sebagai informasi, dedolarisasi adalah sebuah upaya untuk memutus ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional. Selain itu, forum ini juga dianggap fokus pada hubungan internasional yang bersifat multipolar.
Posisi Indonesia antara “barat” dan “timur”
Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (UNAIR), Radityo Dharmaputra, menyebut bahwa bergabungnya Indonesia dalam BRICS justru tidak memberikan banyak manfaat signifikan pada negara. Menurutnya, tidak ada keuntungan yang jelas yang dapat diperoleh Indonesia di sana.
Selain itu, beberapa anggota BRICS dikatakan sebagai “poros” penantang barat dalam sektor ekonomi. Sebagai negara berkembang, Indonesia berada dalam posisi yang sulit tanpa ada keuntungan yang pasti untuk negaranya.
“Hal ini menjadi masalah ketika tidak jelas ada keuntungan apa yang bisa diperoleh Indonesia. Secara ekonomi Indonesia sudah bisa bekerjasama dengan anggota-anggota BRICS tanpa perlu bergabung. Karena itu, bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak memberikan suatu keuntungan yang pasti bagi negara,” ungkap Radityo melalui laman unair.ac.id.
BRICS yang berisikan negara-negara berkembang memiliki tujuan untuk meningkatkan dominasi ekonomi dunia. Forum ini dianggap sebagai penantang barat di bidang ekonomi.
“Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS memberikan sentimen dari negara barat pada Indonesia. Konsekuensinya adalah kita akan dipandang sebagai bagian dari blok China-Rusia oleh negara barat. Kita butuh diversifikasi investor agar tidak tergantung pada negara tertentu, seperti kata Menlu. Jangan sampai bergabungnya kita ke BRICS malah dipandang kita meninggalkan Barat,” tambahnya.
Sambut Keanggotaan Resminya di BRICS, Ini Deretan Ambisi Indonesia
Gabung BRICS dan OECD
Kawan GNFI, Indonesia juga siap bergabung dengan OECD. Berbeda dengan BRICS, organisasi ekonomi besar ini mayoritas diisi oleh negara-negara maju di dunia. OECD memegang posisi strategis dalam tata kelola global.
Saat ini Indonesia berstatus sebagai negara mitra utama dan aksesi OECD. Sementara itu, seluruh anggota OECD juga menyatakan dukungan terhadap Indonesia sebagai anggota baru.
Pada Kamis (28/11/2024) lalu, Presiden Prabowo menerima Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann. Hal ini seakan menjadi “lampu hijau” terkait keanggotaan Indonesia di organisasi itu.
Kerja sama Indonesia dengan OECD yang didominasi barat seakan menjadi penyeimbang. Pertemuan Cormann dengan Prabowo juga menunjukkan komitmen kuat Indonesia untuk bergabung pada OECD.
Menteri Luar Negeri RI, Sugiono, menjelaskan bahwa Indonesia akan tetap mengusung politik non-aligned atau non-blok. Indonesia juga tidak akan mengambil bagian dalam pakta militer mana pun.
Presiden Prabowo juga menyebut jika bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS dan OECD justru dianggap sebagai peluang untuk ekonomi Indonesia demi membantu kesejahteraan rakyat. Presiden menegaskan, Indonesia juga mengikuti beberapa organisasi ekonomi, seperti IPEF di kawasan Pasifik.
"Saya kira nggak ada masalah. Kita juga ikut IPEF, kita juga ikut CPTPP," ungkap Prabowo saat bertandang ke Amerika Serikat, Rabu (13/11/2024) lalu, dikutip dari ANTARA.
Mengenal OECD, Organisasi Internasional yang Disebut Bakal Gaet Indonesia Jadi Anggotanya
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News