meningkatkan nilai limbah kelapa inovasi indonesia dalam teknologi medika - News | Good News From Indonesia 2024

Tingkatkan Nilai Limbah Kelapa, Inovasi Indonesia dalam Teknologi Medika

Tingkatkan Nilai Limbah Kelapa, Inovasi Indonesia dalam Teknologi Medika
images info

Indonesia, negara penghasil kelapa terbesar di dunia, setiap tahunnya menghasilkan lebih dari 6 juta ton limbah sabut kelapa. Sayangnya, limbah ini sering kali hanya menjadi beban lingkungan.

Namun, penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan Institut Teknologi Bandung berhasil mengubah limbah ini menjadi solusi inovatif di dunia farmasi.

Mengolah Limbah Menjadi Material Bernilai Tinggi

Sabut kelapa, yang selama ini hanya dianggap sebagai limbah, ternyata menyimpan potensi besar karena kandungan α-selulosa yang tinggi. Penelitian ini memanfaatkan kandungan tersebut untuk menghasilkan nanofiber selulosa (cellulose nanofiber/CNF) yang kemudian dikombinasikan dengan kerangka logam-organik berbasis tembaga (Cu-BTC).

Kombinasi ini dirancang untuk menjadi sistem penghantaran obat (drug delivery system) yang tidak hanya efektif, tetapi juga ramah lingkungan.

Nanofiber selulosa memiliki sifat unggul seperti ukurannya yang kecil (10–100 nm), kekuatan mekanik tinggi, dan kemampuannya dalam hal biodegradasi. Sementara itu, Cu-BTC, yang merupakan material berpori dengan luas permukaan tinggi, dikenal mampu menyerap dan melepaskan zat aktif secara efektif.

Gulai Umbut Kelapa: Rahasia Kuliner Nusantara yang Terlupakan tapi Penuh Kejutan

Gabungan kedua material ini menghasilkan komposit yang unggul dalam menyerap dan melepaskan kurkumin, senyawa aktif dalam kunyit yang memiliki manfaat kesehatan luar biasa.

Metode Sintesis In-situ dan Ex-situ

Dalam proses pembuatan komposit CNF/Cu-BTC, dua metode sintesis utama digunakan yakni in-situ dan ex-situ. Metode in-situ melibatkan pembentukan partikel Cu-BTC langsung di atas permukaan CNF selama proses sintesis.

Keunggulan metode ini adalah distribusi partikel Cu-BTC yang lebih merata pada permukaan CNF, yang menghasilkan struktur komposit yang lebih homogen. Namun, metode ini memerlukan pengendalian kondisi reaksi yang lebih ketat untuk memastikan kualitas material.

Sebaliknya, metode ex-situ melibatkan pembentukan partikel Cu-BTC secara terpisah sebelum dicampurkan dengan CNF. Dalam penelitian ini, penghubung organik seperti triethylamine (TEA), asam sitrat, dan glutaraldehida digunakan untuk mengikat Cu-BTC ke permukaan CNF.

Metode ini memungkinkan kontrol yang lebih besar terhadap jumlah Cu-BTC yang terikat, meskipun partikel Cu-BTC cenderung mengalami aglomerasi yang dapat mengurangi homogenitas material.

Memahami Karakteristik Material

Nanofiber selulosa yang dihasilkan dari sabut kelapa melalui proses oksidasi memiliki diameter rata-rata sekitar 20 nm, seperti yang ditunjukkan melalui analisis mikroskop elektron (scanning electron microscopy/SEM) dan mikroskop transmisi (transmission electron microscopy/TEM). Sifat nanofiber ini memberikan dasar struktur yang kuat untuk aplikasi farmasi.

Sementara itu, partikel Cu-BTC memiliki struktur kubik dengan panjang sisi rata-rata 4,1 µm. Ketika dikombinasikan dengan CNF, baik melalui metode in-situ maupun ex-situ, material ini menunjukkan morfologi seperti cabang bunga dengan distribusi Cu-BTC yang merata di permukaan CNF.

Kelapa Sawit Jadi Penopang Perekonomian Indonesia Selama 2 Dekade Terakhir

Metode in-situ menghasilkan distribusi Cu-BTC yang lebih baik, sedangkan metode ex-situ memungkinkan kontrol lebih besar terhadap jumlah Cu-BTC yang terikat.

Analisis difraksi sinar-X (X-ray diffraction/XRD) menunjukkan bahwa struktur kristal Cu-BTC tetap terjaga dalam komposit, sementara analisis spektroskopi inframerah (Fourier Transform Infrared Spectroscopy/FTIR) mengonfirmasi keberadaan ikatan kimia antara CNF dan Cu-BTC.

Sifat tekstur material juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam luas permukaan spesifik pada komposit, terutama yang disintesis dengan metode ex-situ menggunakan triethylamine (TEA) sebagai penghubung.

Teknologi Obat Berbahan Kurkumin

Kurkumin yang merupakan senyawa aktif utama dalam kunyit, memiliki berbagai manfaat kesehatan, termasuk sebagai antioksidan, antiinflamasi, hingga antikanker. Namun, senyawa ini memiliki bioavailabilitas (laju dan jumlah zat aktif obat yang berhasil mencapai target aksi) yang rendah, sehingga membatasi potensinya sebagai obat.

Material komposit CNF/Cu-BTC hadir sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi penghantaran kurkumin.

Dalam penelitian ini, kapasitas penyerapan kurkumin oleh CNF, Cu-BTC, dan kompositnya diuji. Hasilnya menunjukkan bahwa komposit yang disintesis dengan metode ex-situ menggunakan TEA memiliki kapasitas penyerapan tertinggi, yaitu 688,7 mg/g. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas CNF murni (40,77 mg/g) dan Cu-BTC murni (150,7 mg/g).

Solusi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan

Selain menawarkan solusi untuk meningkatkan efisiensi penghantaran obat, inovasi ini juga menjadi langkah signifikan dalam mengurangi limbah kelapa.

Dengan mengolah sabut kelapa menjadi material bernilai tinggi, penelitian ini tidak hanya mendukung konsep ekonomi sirkular. Namun, juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pelopor inovasi ramah lingkungan.

Material komposit ini juga menunjukkan kemampuan pelepasan kurkumin yang lambat dan terkontrol, dengan tingkat pelepasan tertinggi pada pH 5,5—kondisi ideal untuk aplikasi farmasi. Pelepasan yang terkontrol ini mengurangi risiko efek samping sekaligus meningkatkan efektivitas terapi.

Kelapa Sawit Bawa Indonesia Melejit, Siapkah BPDPKS Membawa Indonesia Menuju Net Zero Emission?

Penelitian ini tidak hanya penting bagi dunia farmasi, tetapi juga membuka peluang besar untuk aplikasi lain, seperti pengawetan makanan atau pengolahan air. Dengan potensi ini, material berbasis limbah kelapa dapat menjadi komoditas baru yang memperkuat ekonomi Indonesia.

Melalui kolaborasi lintas institusi, penelitian ini membuktikan bahwa inovasi berbasis sumber daya lokal mampu menciptakan dampak global. Dalam upaya membangun masa depan yang lebih hijau, Indonesia sekali lagi menunjukkan bahwa limbah bukanlah akhir, melainkan awal dari peluang baru.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AN
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.