bahasa ngapak bentuk perlawanan atas sistem feodal - News | Good News From Indonesia 2024

Bahasa Ngapak, Bentuk Perlawanan atas Sistem Feodal

Bahasa Ngapak, Bentuk Perlawanan atas Sistem Feodal
images info

“Inyong madhang sit.”

Pernahkah Kawan GNFI mendengar logat tersebut? Memang sekilas tampak seperti bahasa Jawa, tapi, Jawa mana lebih tepatnya? 

Yap, kalimat yang berarti “Aku makan dulu” itu diucapkan dengan bahasa Jawa Banyumasan atau lebih dikenal sebagai dialek ngapak.

Menurut Herusasoto (2008), bahasa Jawa Banyumasan ini termasuk ke dalam jenis dialek Jawa tertua yang masih dituturkan di Jawa Tengah bagian barat, tepatnya pada daerah eks-karesidenan Banyumas (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap) dan beberapa eks-karesidenan Kedu (Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Pekalongan, Batang). 

Selain daerah-daerah tersebut, bahasa Ngapak juga digunakan sampai ke sejumlah kecil kecamatan di Kabupaten Ciamis, sebagian kecil Kota Banjar, sebagian kecil di timur Kabupaten Pangandaran.

Karena merupakan perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, dialek ngapak di daerah Pangandaran sudah tercampur dengan bahasa Sunda Priangan.

Ciri Khas Bahasa Ngapak

Meskipun beberapa kosakatanya mirip dengan bahasa Jawa, ternyata bahasa Ngapak ini memiliki ciri khas yang membedakannya dengan pengucapan bahasa Jawa.

Herusasoto (2008) mengungkapkan, ciri utama cara bicara khas wong Banyumasan ini, yaitu blepotan (campur aduk, tidak karuan), pating pechotot (terburai), dalam logat bahasa Ngoko Lugu (Jawadwipa) atau Jawa Koek (Jawa Kuno).

Selain pengucapan kosakatanya didominasi oleh huruf ‘a’, Saptono (2014) pun menambahkan, bahwa terdapat beberapa ciri khas bahasa Ngapak, di antaranya:

  1. Memiliki karakter lugu dan terbukti
  2. Tidak ada gradasi hierarki
  3. Digunakan sebagai bahasa utama oleh mayoritas masyarakat Banyumas
  4. Dipengaruhi oleh unsur-unsur dari bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan bahasa Sunda.
  5. Pengucapan konsonan di akhir kata yang dibaca dengan jelas
  6. Vokal a, i, u, e, o diucapkan dengan jelas. 

Walaupun merupakan bagian dari bahasa Jawa, perbedaan yang paling mencolok adalah bahasa Ngapak tidak memiliki hierarki. Berbeda dengan bahasa Jawa yang memiliki tiga tingkatan kesopanan, yaitu Jawa Ngoko (informal), Jawa Madya (menengah), dan Jawa Krama (paling sopan) yang digunakan dalam situasi tertentu.

Poin ini ternyata saling berkaitan dengan sejarah dan latar belakang bahasa Ngapak. 

Sejarah Bahasa Ngapak

Bahasa Ngapak pun mengalami perkembangan, sama seperti bahasa Jawa. Perjalanan perkembangan tersebut dirangkum oleh Retnosari (2013) ke dalam empat poin: 

  1. Abad 9 hingga abad 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa Kuno
  2. Abad 13 hingga abad 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
  3. Abad 16 hingga abad 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
  4. Abad 20 hingga sekarang, menjadi salah satu dialek bahasa Jawa Modern

Bahasa Ngapak diperkirakan berasal dari zaman Majapahit karena Banyumas merupakan salah satu wilayah Majapahit yang berbatasan dengan Pasirluhur dan Pajajaran. 

Dahulu, sebelum muncul sistem kekeratonan, hampir tidak ada perbedaan antara bahasa Jawa Krama dan Jawa Ngoko sehingga dapat dikatakan, bahasa Jawa dahulu mirip seperti bahasa Ngapak yang tidak mengenal strata. Namun, hal itu berubah sejak kekeratonan Jawa mulai muncul. 

Saat itu, kalangan wong Banyumasan sendiri menyebut bahasa Jawa yang biasa dipakai oleh orang Jawa wetanan (Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur) sebagai bahasa bandhekan yang berasal dari kata “gandhek”.

Gandhek merupakan pangkat dari pendamping raja. Disebut sebagai bahasa bandhekan adalah dari cara bicaranya yang hampir berbisik-bisik. Karena gandhek harus selalu mendampingi raja, maka penggunaan bahasa ini tumbuh jadi kebiasaan di kalangan keraton. 

Ternyata, kebiasaan Kerajaan Pajang dalam berbahasa tersebut menarik perhatian Sultan Hadiwijaya, atau dikenal sebagai Joko Tingkir. Ia menganggap, bahasa bandhekan memiliki esensi yang tinggi karena dalam pengucapannya yang pelan dan lembut, seseorang harus menahan diri di situasi apa pun dan emosi apa pun yang menggebu-gebu.

Sama seperti sikap gandhek yang harus mendampingi raja setiap saat. Karena itu, diputuskanlah, bahwa bahasa bandhekan menjadi bahasa resmi Kerajaan Pajang, baik penghuni kerajaan maupun masyarakat umum.

Dari situ, muncullah kerajaan-kerajaan Jawa lainnya sehingga budaya feodal semakin berkembang, salah satunya lewat penggunaan bahasa. Namun, masyarakat Banyumas memilih tidak ikut menganutnya. Ada tiga alasan mengapa mereka memutuskan demikian. 

Pertama, daerah Banyumas yang cenderung jauh dari kerajaan. Kedua, tidak ada raja yang membangun kekeratonan di wilayah Banyumas sehingga mereka tidak merasakan dampak feodal tersebut.

Ketiga, ingin mempertahankan kebebasan dalam bersikap dan bertutur kata tanpa dibatasi status tertentu. Mereka tidak ingin keakraban antarmasyarakat Banyumas terganggu. Hal tersebut yang membuat wong Banyumasan memilih prinsip egaliter, yaitu menganggap semuanya setara dan tidak mudah tunduk pada orang asing. 

Namun, ketiga alasan tersebut justru membuat bahasa Ngapak mendapat stereotip bahasa kasar atau bahasa rakyat jelata. Walau demikian, wong Banyumasan tidak terganggu akan hal tersebut dan terus menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari. 

Bahasa Ngapak sempat nyaris menjadi budaya yang mulai punah. Namun, kali ini pengguna dialek Ngapak tidak lagi malu-malu, berkat kemunculan selebriti dan sejumlah konten kreator yang berani berbicara Ngapak di depan kamera, bahkan memberikan edukasi. Karena itu, sudah sepatutnya kita untuk melestarikan bahasa daerah kita. 

 

Referensi: 

Dadan, S. (2019). Ekspresi Bahasa Banyumasan Dalam Kaus Oblong Sebagai Arena Kontestasi Budaya. In Seminar Internasional Riksa Bahasa.

Herusatoto, H. B. (2008). Banyumas; Sejarah, Budaya, Bahasa, Dan Watak. LKIS Pelangi Aksara.

Widyaningsih, R. (2014). Bahasa Ngapak dan Mentalitas Orang Banyumas: Tinjauan dari Perspektif Filsafat Bahasa Hans-Georg Gadamer. Jurnal Ultima Humaniora, 2(2), 186-200.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.