Di balik padatnya kota, terdapat wajah-wajah kehidupan yang terpinggirkan dalam ruang-ruang yang disebut rumah, tetapi jauh dari kata layak. Dengan populasi yang terus meningkat, kebutuhan akan hunian layak juga semakin mendesak.
Di satu sisi, kota ini menawarkan berbagai hunian mewah, apartemen modern, dan kawasan perumahan elit yang menjadi simbol kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Namun, di sisi lain, ada kenyataan yang kontras; banyak warga Jakarta yang hidup di lingkungan kumuh, rumah-rumah sempit, atau bahkan di bantaran sungai dan rel kereta api, yang jauh dari kata layak.
Perbedaan ini tak hanya mencerminkan kesenjangan, tetapi juga menjadi pengingat akan kebutuhan mendasar yang masih belum sepenuhnya terpenuhi. Hak setiap orang untuk hidup di tempat yang layak.
Rumah Layak Huni (RLH) menurut Nawasis memiliki empat indikator utama, di antaranya adalah keselamatan bangunan, kecukupan ruang, akses terhadap air bersih, dan fasilitas sanitasi layak.
Indikator ini disesuaikan dengan SDGs tujuan 11.1, yang bertujuan memastikan setiap orang memiliki akses ke hunian layak dan aman.
Sedangkan, Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) adalah hunian yang tidak memenuhi persyaratan dasar keselamatan, keamanan, kesehatan, dan kecukupan ruang. Hal ini mencakup struktur bangunan yang tidak aman, minimnya luas ruang per kapita, dan tidak adanya fasilitas sanitasi yang memadai, sehingga kurang mendukung kesejahteraan penghuninya.
RTLH mengacu pada standar Peraturan Menteri terkait perumahan dan pemukiman untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup layak
Rumah-rumah ini sering kali berada di wilayah yang rentan banjir, atau di atas lahan yang secara hukum tidak mereka miliki. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada kesehatan fisik para penghuninya, tetapi juga pada kesehatan mental serta kualitas hidup mereka secara keseluruhan.
Perbedaan antara rumah layak dan tidak layak di Jakarta mencerminkan adanya ketimpangan ekonomi yang cukup kontras. Para penghuni rumah layak sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke atas. Mereka memiliki akses pada pekerjaan dengan pendapatan yang memadai atau bahkan lebih dari cukup.
Sebaliknya, mereka yang tinggal di rumah tidak layak sering kali berasal dari kalangan menengah ke bawah yang berpenghasilan rendah. Dengan pekerjaan informal atau tidak tetap, yang sering kali berhubungan dengan sektor-sektor pekerjaan kasar.
Keterbatasan penghasilan ini membuat mereka tidak mampu membeli atau menyewa rumah yang layak. Dengan demikian, mereka terpaksa tinggal di tempat-tempat yang kurang mendukung kualitas hidup yang sehat.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya gap sosial yang besar di Jakarta adalah urbanisasi yang tidak terkendali. Pertumbuhan urbanisasi di Jakarta menunjukkan peningkatan signifikan dalam kepadatan penduduk yang tersebar di berbagai wilayah kota administratif.
Data 2024 dari BPS DKI Jakarta menunjukkan bahwa tingkat kepadatan, distribusi populasi, serta rasio pertumbuhan dan jenis kelamin di Jakarta terus bertambah, didorong oleh migrasi dan perkembangan perkotaan.
Jakarta menjadi magnet bagi penduduk dari daerah lain yang berharap mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Namun, tingginya angka migrasi ke Jakarta tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia serta ketersediaan perumahan yang layak.
Akibatnya, banyak pendatang yang bekerja dengan penghasilan minim dan tinggal di kawasan-kawasan kumuh.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperluas akses kepemilikan hunian yang layak, aman, dan terjangkau dengan menyediakan Rumah Susun Sewa (Rusunawa). Program ini ditujukan bagi warga yang belum memiliki rumah dan tergolong dalam Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Melalui program tersebut, pemerintah berusaha menyediakan hunian yang layak dengan harga terjangkau di tengah kota. Tujuannya adalah agar para pekerja berpenghasilan rendah tetap dapat tinggal dekat dengan tempat kerja mereka. Dengan demikian, ini mengurangi waktu dan biaya transportasi yang sering kali menjadi beban tambahan.
Menurut data BPS DKI Jakarta pada 2022, terdapat 2,78 juta rumah tangga di Jakarta. Dari jumlah tersebut, lebih dari 63 persen, atau sekitar 1,77 juta rumah tangga, belum memiliki akses ke rumah layak huni.
Melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta, Pemprov DKI terus berupaya meningkatkan kualitas hunian di rumah susun melalui Program Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU).
PSU ini menjangkau 92 Rukun Warga di berbagai wilayah kota dan kabupaten di Jakarta, meliputi perbaikan hunian di enam lokasi.
Selain peningkatan akses dan penataan, DPRKP juga menyediakan fasilitas pendukung, termasuk aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, seperti huruf Braille, ramp, guiding block, toilet khusus, dan lift ramah kursi roda.
Berdasarkan Rencana Strategis 2023—2026, DPRKP telah mengelola 32 rusun yang dibangun sejak 1994 dan menyediakan lebih dari 24.000 unit hunian, dengan sekitar 20.000 unit sudah dihuni.
Salah satu contoh hunian vertikal adalah Rusun Tanah Tinggi Cinta Damai yang terletak di Jalan Tanah Tinggi XII, RT.05 RW.012, Johar Baru, Jakarta Pusat. Rusun ini dibangun di atas lahan seluas 108 meter persegi, terdiri dari 4 lantai, dan menampung 8 kepala keluarga (KK) dengan fasilitas yang memadai.
Pemerintah perlu aktif memberikan edukasi tentang pentingnya hunian layak bagi masyarakat. Program seperti ini bisa dilakukan melalui pendekatan langsung di komunitas-komunitas warga, sehingga mereka memahami pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan di permukiman yang padat.
Selain itu, diperlukannya peninjauan ulang kebijakan kependudukan dan migrasi ke Jakarta. Urbanisasi yang tidak terkendali hanya akan memperburuk ketimpangan sosial di Jakarta. Sebab, jumlah penduduk yang terus bertambah tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan dan hunian layak.
Dengan pengendalian yang tepat, pemerintah dapat menciptakan kondisi kota yang lebih harmonis dan nyaman bagi semua lapisan masyarakat.
Menyelesaikan masalah perumahan di Jakarta memang memerlukan upaya yang berkesinambungan serta komitmen yang kuat dari berbagai pihak. Perumahan yang layak bukan sekadar soal tempat tinggal, tetapi juga tentang kehidupan yang lebih bermartabat.
Dengan mempersempit gap sosial yang ada, Jakarta diharapkan bisa menjadi kota yang inklusif, di mana setiap warganya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan hunian yang layak.
Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang lebih harmonis dan stabil di tengah hiruk pikuknya ibu kota.
Sumber:
- https://www.nawasis.org/portal/galeri/read/4-indikator-rumah-layak-huni/51844
- https://perkim.id/rtlh/definisi-rumah-tidak-layak-huni/
- https://jakarta.bps.go.id/id/statistics-table/3/V1ZSbFRUY3lTbFpEYTNsVWNGcDZjek53YkhsNFFUMDkjMw==/penduduk--laju-pertumbuhan-penduduk--distribusi-persentase-penduduk--kepadatan-penduduk--rasio-jenis-kelamin-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-provinsi-dki-jakarta--2024.html?year=2024
- https://www.antaranews.com/berita/4458941/dki-tingkatkan-akses-hunian-layak-untuk-masyarakat?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=popular_right
- https://www.kompas.id/baca/metro/2023/08/05/jakarta-krisis-hunian-layak
- https://kilasdaerah.kompas.com/dki-jakarta/read/2023/10/05/18000091/pemprov.dki.jakarta.optimalkan.pembangunan.rusun.solusi.hunian.nyaman.di.lahan.terbatas
- https://dprd-dkijakartaprov.go.id/atasi-krisis-hunian-layak/
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


