makna filosofis rumah adat gorontalo bantayo poboide dan dulohupa - News | Good News From Indonesia 2024

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo, Bantayo Poboide dan Dulohupa

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo, Bantayo Poboide dan Dulohupa
images info

Rumah merupakan salah satu wujud peradaban manusia sebagai makhluk yang membutuhkan tempat bernaung. Dalam masa ke masa, bentuk rumah terus mengalami perubahan baik dalam arsitektur maupun fungsi. Tiap daerah memiliki bentuk rumah yang unik dan khas sehingga menjadi ciri dari suatu daerah. Rumah-rumah tersebut disebut juga dengan rumah adat.

Jika melihat rumah adat di Indonesia, maka ada banyak sekali ragam bentuk arsitektur dan makna filosofis pada rumah adat di masing-masing daerah. Salah satu rumah adat yang kental dengan budaya adalah rumah adat Gorontalo.

Gorontalo merupakan sebuah provinsi yang terletak di semenanjung Minahasa, berbatasan langsung dengan Sulawesi Utara. Daerah ini memiliki sejarah yang panjang dengan pengaruh peradaban Islam yang cukup kuat. Karena itu rumah adat Gorontalo menjadi salah satu bukti peninggalan sejarah yang sangat kental dengan budaya.

Terdapat dua jenis rumah adat Gorontalo yang memiliki bentuk arsitektur khas pada masing-masing rumah adat. Namun, keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk bermusyawarah , berkumpul, melaksanakan upacara adat, dan kegiatan sosial lainnya.

Arsitektur rumah adat Gorontalo sangat lekat dengan konsep adat istiadat, nilai filosofis, dan kepercayaan. Tiap bentuk mulai dari atap hingga tangga memiliki maknanya tersendiri. Simak ragam bentuk, fungsi, dan nilai-nilai kebudayaan dalam rumah adat Gorontalo berikut ini.

Baca juga: Mengulik Kekayaan Bahasa Gayo yang Terancam Punah

Rumah Adat Bantayo Poboide

Rumah Adat Bantayo Poboide | Sumber: Tangkapan layar kanal YouTube TVRI
info gambar

Rumah adat Bantayo Poboide merupakan salah satu rumah adat Gorontalo yang digunakan sebagai tempat untuk bermusyawarah. Nama Bantayo Poboide berasal dari kata ‘Bantayo’ yang berarti gedung atau bangunan, serta ‘Poboide’ yang berarti tempat bermusyawarah.

Rumah adat Gorontalo yang satu ini dibangun dari kayu cokelat dan kayu hitam. Kayu cokelat digunakan sebagai pintu, jendela, lantai, dan dinding atau pondasi bangunan. Sementara itu, kayu hitam digunakan sebagai kusen, pagar, ukiran-ukiran di ventilasi, dan pegangan tangga.

Bangunan rumah adat Bantayo Poboide memiliki 8 tiang penyangga, 2 diantaranya terletak di bagian luar paling depan yang biasa disebut Wolihi, sedangkan 6 lainnya terletak mengelilingi sisi kanan dan kiri bangunan.

Wolihi sendiri menjadi lambang Kerajaan Limutu yang bertekad selamanya menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Keenam tiang lainnya juga memiliki makna yaitu sebagai lambang masyarakat lou dulowo limo la pahalaa (lima kesadaran atau prinsip yang dipengang teguh masyarakat Gorontalo).

Rumah adat Bantayo Poboide memiliki lima bagian, yaitu:

  1. Serambi depan.
  2. Ruang tamu, merupakan sebuah ruangan yang berbentuk memanjang dilengkapi kamar di tiap ujung kanan dan kirinya.
  3. Ruang tengah, merupakan ruangan paling luas yang terletak di tengah rumah dan memiliki dua kamar di sisi kirinya.
  4. Ruang dalam, merupakan ruang berbentuk lorong luas dilengkapi dengan dua kamar di tiap ujungnya yang juga memiliki akses menuju serambi.
  5. Ruang belakang, merupakan ruang untuk dapur, kamar mandi, dan kamar-kamar kecil. Di ujung kanan dan kiri ruang belakang terdapat pintu menuju ke serambi.

Rumah Adat Dulohupa

Rumah Adat Dulohupa | Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
info gambar

Rumah adat Dulohupa juga sering disebut Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo. Berbeda dengan rumah adar Bantayo Poboide, rumah adat yang satu ini digunakan sebagai tempat bermusyawarah khususnya untuk para petinggi desa dalam memutuskan perkara yang terjadi di pemerintahan.

Tiap struktur rumah adat Dulohupa memiliki makna filosofis tersendiri, berikut penjelasannya.

  • Bentuk Rumah

Rumah adat Dulohupa merupakan rumah panggung yang sering kali digambarkan sebagai tubuh manusia. Atap sebagai kepala, bagian inti rumah sebagai badan, serta pilar-pilar penyangga rumah sebagai kaki. Rumah adat ini menjadi bukti kemajuan peradaban manusia di Gorontalo.

  • Bagian Tengah Rumah

Ketika masuk ke bagian dalam rumah, pemandangan yang luas dapat terlihat karena minimnya sekat yang membatasi antar ruangan. Di dalam rumah adat Dulohupa juga terdapat sebuah anjungan khusus untuk peristirahatan raja maupun keluarga kerajaan.

  • Atap Rumah

Salah satu hal yang unik dari rumah adat Dulohupa adalah penggunaan jerami pada atap bangunannya. Atap rumah ini berbentuk segitiga berlapis dua yang menggambarkan syariat dan adat masyarakat Gorontalo. Bagian atas atap menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa dengan bagian bawahnya adalah kepercayaan masyarakat terhadap adat istiadat di sekitar. Pada puncak atap terdapat dua batang kayu menyilang yang disebut Talapua, digunakan sebagai penangkal roh jahat.

  • Tangga dan Bagian Depan Rumah

Rumah adat Dulohupa memiliki 5-7 anak tangga. Angka 5 merupakan simbol rukun Islam, sedangkan angka 7 menggambarkan tujuh tingkat nafsu manusia, yaitu amarah, lauwamah, mulhimah, mutmainnah, rathiah, mardhiah, dan kamilan. Sementara itu, di pintu masuk terdapat Tange Lo Bu’Ulu menggantung di pintu masuk rumah yang melambangkan kesejahteraan masyarakat Gorontalo.

  • Pilar Rumah

Rumah adat Dulohupa memiliki beberapa jenis pilar, yaitu pilar utama atau Wolihi sebanyak 2 buah, pilar depan sebanyak 6 buah, dan pilar dasar atau Potu sebanyak 32 buah.

Wolihi  langsung menempel pada tanah dan terhubung ke rangka atap. Pilar ini melambangkan janji persatuan abadi antara dua saudara, Gorontalo dan Limboto (janji lou dulowo mohutato-Hulontalo-Limutu) pada tahun 1664. Selain itu, angka 2 mencerminkan Delito (pola) adat dan syariat sebagai prinsip hidup masyarakat Gorontalo dalam pemerintahan dan kehidupan sehari-hari.

Sama seperti pilar utama, pilar depan juga langsung menempel di tanah dan terhubung ke rangka atap. Pilar ini mewakili enam sifat utama penduduk lou dulowo limo lopahalaa: tinepo (tenggang rasa), tombulao (hormat), tombulu (bakti kepada penguasa), wuudu (sesuai kewajaran), adati (patuh pada peraturan), dan butoo (taat pada keputusan hakim).

Baca juga: Seluk Beluk Kesultanan Jailolo, Kesultanan yang Lama Hilang di Maluku Utara

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Nadhifa Aurellia Wirawan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Nadhifa Aurellia Wirawan.

NA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.