Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia akan terus andil dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam pertemuan perdana Presiden RI, Prabowo Subianto, dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, yang dilakukan di White House, Selasa (12/11/2024) lalu, keduanya berkomitmen untuk ikut mendukung perdamaian di Semenanjung Korea.
Dalam sebuah rilis yang diterbitkan oleh Gedung Putih, termaktub bahwa Indonesia dan Amerika Serikat sepakat untuk mendukung terciptanya perdamaian abadi di Semenanjung Korea dan denuklirisasi secara menyeluruh.
“Amerika Serikat dan Indonesia menegaskan kembali dukungan untuk terciptanya perdamaian abadi di Semenanjung Korea dan denuklirisasi menyeluruh,” bunyi rilis resmi tersebut.
Tak hanya itu, dua pemimpin negara itu juga mendesak seluruh pihak untuk melaksanakan kewajiban dan komitmen internasional, termasuk menghentikan tindakan yang melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang mengancam perdamaian perdamaian dan stabilitas kawasan.
Prabowo dan Biden meminta dua pihak terkait untuk mematuhi semua resolusi DK PBB dan terlibat dalam dialog perdamaian.
Meskipun memiliki wilayah masing-masing, tetapi Korea Selatan dan Korea Utara tidak akur. Bahkan, konflik yang terjadi antara keduanya belum benar-benar usai.
Perang dua negara berbeda ideologi ini dapat meletus sewaktu-waktu. Lalu, apa yang sebenarnya melatarbelakangi konflik berkepanjangan Korea Selatan dan Korea Utara?
Selayang pandang tentang konflik Korsel dan Korut
Jauh sebelum terpecah menjadi dua bagian, Korea sejatinya adalah satu entitas utuh. Saat itu, Korea masih berbentuk kekaisaran.
Namun, pada Agustus 1910, Kekaisaran Korea tunduk terhadap Jepang. Sejak saat itu, Korea resmi dijajah oleh Jepang selama 35 tahun hingga 15 Agustus 1945.
Kependudukan Jepang di Korea berakhir saat Jepang menyerah pada sekutu di Perang Dunia II. Di sinilah awal mula perpecahan terjadi.
Indonesia Tegas Dorong Perdamaian di Ukraina dan Gaza
Dua negara superpower saat itu, Uni Soviet dan Amerika, mulai membagi kekuasaan atas Semenanjung Korea. Pembagian tersebut didasari oleh garis batas 38 derajat lintang utara yang membelah Semenanjung Korea antara utara dan selatan.
Amerika Serikat menduduki bagian selatan, sedangkan Uni Soviet mengambil kendali di bagian utara.
Dua rezim ini memiliki ideologi yang sangat berbeda. Amerika membawa pengaruh demokrasi, sementara Uni Soviet tetap kokoh dengan sistem komunisnya.
Dua pemerintahan Korea mulai terpisah secara resmi menjadi dua bagian pada 1948 berdasarkan pembagian yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Saat itu, Korea Selatan yang dipimpin oleh Syngman Rhee menginginkan Korea Selatan menggunakan sistem demokrasi dan mendapatkan sokongan penuh dari AS.
Sementara itu, Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il-sung bersikeras untuk menganut sistem ideologi komunis yang didukung oleh Uni Soviet dan Tiongkok.
Keduanya sama-sama ingin menyatukan Korea dengan ideologi masing-masing. Seiring berjalannya waktu, ketegangan meningkat dan perang pertama meletus pada 25 Juni 1950.
Korea Utara yang didukung oleh Uni Soviet dan Tiongkok menyerang Korea Selatan. DK PBB yang baru dibentuk langsung mengerahkan pasukan untuk menghentikan invasi dari utara itu.
Perang antara Korea Selatan dan Korea Utara ini berlangsung selama tiga tahun. Jutaan korban berjatuhan selama periode berdarah tersebut.
Kesepakatan gencatan senjata yang alot
Selama perang, perundingan gencatan senjata terus dilakukan. Konon, perundingan yang dilakukan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam perang ini membutuhkan waktu hingga dua tahun dan sukses menjadi perundingan terlama dalam sejarah dunia.
Akhirnya, setelah perundingan tiada henti yang sangat alot, pada 27 Juli 1953 tiga dari empat “aktor” yang bertikai, yaitu Korea Utara, Tiongkok, dan Amerika Serikat, memutuskan untuk menandatangani Armistice Agreement atau Perjanjian Gencatan Senjata Korea.
Akan tetapi, Sygman Rhee, Presiden Korea Selatan, justru menolak untuk menandatanganinya. Alasannya karena ia tidak mau mengakui dataran Korea yang terbagi menjadi dua. Namun, Rhee mengungkap bahwa ia akan menghormati keputusan tersebut.
Meskipun demikian, perjanjian gencatan senjata tetap berlaku dan mengakhiri pertempuran itu. Kedua negara ikut menetapkan zona demiliterisasi (DMZ) yang membentang sejauh 250 km dan lebar 4 km.
Melihat Kontribusi Apik Indonesia di UNIFIL: Si Baret Biru Penjaga Perdamaian Dunia di Lebanon
Perlu diketahui, meskipun terdapat gencatan senjata, sejatinya Korea Selatan dan Korea Utara tidak pernah membuat kesepakatan perdamaian.
Oleh karena itu, secara teknis, perang keduanya belum berakhir hingga saat ini. Ketegangan dan perang dapat saja meletus sewaktu-waktu.
Peran Indonesia untuk perdamaian
Indonesia memiliki jalinan diplomasi yang kuat dengan dua negara. Indonesia memiliki kapasitas untuk dapat mendorong dialog antara Korsel dan Korut.
Sebagai anggota Gerakan Non-Blok sekaligus salah satu inisiator dari Konferensi Asia-Afrika (KAA), Indonesia berpeluang untuk dapat melakukan dialog dengan keduanya.
Selain itu, Indonesia bersama dengan ASEAN juga dapat mendorong terciptanya perdamaian di Semenanjung Korea. ASEAN bahkan digadang-gadang dapat memberikan “ruang” untuk mempertemukan atau melibatkan dialog perdamaian antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Indonesia Urutan ke-7 pada Kontribusi Pasukan Perdamaian Terbanyak Dunia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News