kain tembe potret sebuah perjalanan panjang - News | Good News From Indonesia 2024

Kain Tembe, Potret Sebuah Perjalanan Panjang

Kain Tembe, Potret Sebuah Perjalanan Panjang
images info

Dalam hal seni kerajinan, Indonesia dikenal sangat kaya, karena punya beragam jenis hasil karya seni kriya. Pada satu jenis karya seni saja, ada banyak ragam corak dan ciri khas, sesuai daerah masing-masing. 

Salah satu kekayaan itu pada kain tenun. Ada begitu banyak daerah di Indonesia, yang dikenal punya kain tenun khas. Satu dari sekian banyak kain tenun khas itu ada di Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang dikenal dengan sebutan tembe. Tembe merupakan satu produk kerajinan tradisional khas suku Mbojo, yang sekaligus menjadi saksi perjalanan panjang peradaban manusia di Bima. 

Secara historis, Rosandini (2014) menyebut, tembe sudah menjadi produk budaya di masyarakat, yang sudah eksis sejak era Ncuhi (prakerajaan) pada abad ke 7 Masehi. 

Menenun, Tradisi Istimewa Suku Sasak

Lebih lanjut, Hidayat dan Pranasa (2023) menyebut, dalam catatan Kitab Negarakertagama, kain tenun sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan di Bima dan Dompu, sejak era Kerajaan Kediri (abad ke 12 Masehi). Informasi ini disebut juga dalam catatan perjalanan Tome Pires (penjelajah asal Portugal) saat singgah di Bima pada tahun 1573. 

Sebelum abad ke 17, masyarakat Bima masih memakai deko, semacam kain panjang. Mereka sudah memakai kain tenun, tetapi belum mengenal istilah tembe.

Pada prosesnya, Rahman (2000) dalam Iswahyudi dan Hidayat (2022) menyampaikan, tembe mengalami evolusi, tepatnya sejak pengaruh agama Islam dari Kerajaan Gowa mulai masuk ke Bima pada tahun 1640. 

Tren kain sarung lalu berkembang pesat di Bima pascaperjanjian Bongaya, antara Kerajaan Islam Gowa-Tallo dan VOC (Belanda) tahun 1667. Imbas perjanjian ini memicu eksodus orang Bugis ke Bima sekitar tahun 1670-an, yang sekaligus memicu hadirnya akulturasi budaya dan agama di Bima.

Alhasil, berbagai kesenian, pakaian dan ritus-ritus bernuansa Islam menjadi corak khas kebudayaan masyarakat Bima hingga kini. Sejak saat itu juga, masyarakat Bima, khususnya suku Mbojo, mulai mengenal katente (gaya pemakaian tembe pada pria),rimpu (gaya pemakaian tembe pada wanita), dan ragam motif pada kain tenun. 

Pada gilirannya, akulturasi budaya dan agama ini jugalah, yang membuat motif tembe tidak mempunyai corak gambar hewan atau manusia. Umumnya, jenis gambar pada motif tembe berbentuk bunga atau bangun geometri.

Uniknya, Bima, J. A. (2019) menemukan, terdapat unsur etnomatematika (bentuk matematika terapan dalam satu kelompok budaya) pada motif tembe bercorak bangun geometri. Selain dari bentuk gambarnya, unsur etnomatematika juga terlihat dari nama motif, yakni nggusu tolu (segitiga), nggusu upa (segiempat), pado waji (jajar genjang), dan nggusu waru (segidelapan).

Gunung Rinjani, Pesona Indonesia yang Mendunia

Dalam hal warna dasar, Hitchcock (1991) menjelaskan, kain tembe mempunyai sembilan macam warna, yakni merah, kuning, hijau, biru, ungu, hitam, coklat, dan oranye. Proses pewarnaannya menggunakan pewarna alami berbahan getah pohon atau tumbuh-tumbuhan.

Bahan pewarna tradisional pada warna kuning kuning umumnya berasal dari pohon atau tanaman seperti tanaman sisir (cudrania), palawu (telang) dan kesumba. Selain kuning, kesumba juga bisa menjadi bahan pewarna untuk membuat warna merah.

Bahan pewarna tradisional pada warna hijau dibuat dari cudrania, sementara warna biru dan ungu dibuat dari tanaman indigofera (tarum). Warna coklat berasal dari tanaman supa (secang), yang bisa juga digunakan untuk membuat warna merah. Selain kesumba, warna merah bisa juga dibuat dari akar tanaman obat pohon mengkudu.

Dalam perspektif budaya suku Mbojo, khususnya di era kerajaan, warna tembe mempunyai makna simbolis khusus, dan biasa menjadi ciri khas identitas pemakainya. Misalnya, menjadi penanda tempat tinggal atau jabatan seseorang.

Sebagai contoh, sarung hitam alias tembe sengge biasa dikenakan masyarakat wilayah pegunungan.

Tembe jenis ini antara lain bisa ditemui di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, yang masyarakatnya masih melestarikan corak warna gaya klasik, dengan ciri budaya lokal.

Sarung warna merah alias tembe bako biasa digunakan masyarakat perkotaan dan bangsawan. Perbedaan umum antara tembe bako yang dikenakan bangsawan dan masyarakat perkotaan terletak pada jenis hiasan motifnya. Tembe bako yang dikenakan kaum bangsawan biasanya dihiasi motif dengan benang perak atau emas.

Untuk tembe warna biru, biasanya dikenakan oleh para Ruma atau pejabat istana berpangkat Jeneli (setingkat camat di era modern) yang juga menjadi simbol kesetiaan dan kejujuran terhadap kesultanan.

Motif-motif tenun Bima gaya klasik yang masih bertahan yaitu kakando, salungka, kapa`a dan renda. Kakando dan salungka banyak dipengaruhi corak tenun Sumatra, kapa`a bercorak Bugis, sementara renda bercorak Melayu.

Proses pembuatan benang dan kain tenun secara tradisional dulunya sering dilakukan oleh kaum tetua di desa. Seiring kemajuan teknologi tekstil, yang antara lain ditandai dengan kehadiran benang tekstil, proses pembuatan kain tenun secara tradisional mulai ditinggalkan.

Rentang waktu kronologistembe yang cukup panjang ini membuktikan, masyarakat Suku Mbojo sudah mengenal teknik produksi kain tenun, lengkap dengan berbagai prosesnya. Mulai dari menanam kapas, memetiknya, mengolah hingga menjadi benang, dan menenun.

Proses ini sudah berlangsung sejak lebih dari seribu tahun silam, dan menjadi potret dinamika perjalanan panjang peradaban manusia di Bima.

Tembe suku Mbojo (sejauh ini) bisa terus eksis, berkat keterbukaan terhadap akulturasi budaya maupun agama, tanpa melupakan jati diri suku Mbojo sebagai orang Bima.

 

Referensi:

Hitchcock, M., “Indonesian Textiles,” Periplus, (1991).

 

Rosandini, M. (2014). Study of History; Technique And Motif of Bima Tembe. Bandung Creative Movement (BCM), 1(1).

 

Hidayat, I., & Pranasa, R. K. (2023). The form and meaning of Bima deep weaving motif culture in Bima community of West Nusa Tenggara. JISHum; Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 1(4), 987-996.

 

Iswahyudi, Hidayat, Irfan. (2022). The philosophical values of Rimpu traditional clothing of Bimanese people in West Nusa Tenggara. Technium Soc. Sci. J., 35, 611.

 

Bima, J. A. (2019). Ethnomathematics on Woven Fabric (Tembe Nggoli) of Mbojo Tribe Society. In Journal of Physics: Conference Series (Vol. 1280, p. 022049).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

YR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.