Kota Palu terletak di tepi laut dan merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah. Kota ini berada di atas Teluk Palu, di sebelah barat dan utara berbatasan dengan Kabupaten Donggala, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sigi, dan di sebelah timur dengan Kabupaten Parigi Moutong.
Kota Palu dikenal dengan bentang alamnya yang unik, berdiri mengelilingi lembah, lautan, sungai, pegunungan, dan teluk sehingga kota ini seringkali disebut sebagai “Kota Lima Dimensi”. Kota Palu terletak di sesar Palu-Koro, sesar yang masih aktif sehingga kota ini sering dilanda gempa bumi.
Pemberian Nama Palu
Ada beberapa pendapat mengenai sejarah pemberian nama Palu. Yang pertama berasal dari kata ‘Topalu’e’ yang dalam bahasa Mandar berarti tanah yang terangkat. Nama ini diberikan karena kota Palu dulunya merupakan lautan.
Saat itu terjadi pergeseran sesar Palu-Kuro yang mengakibatkan daerah di sekitar lautan terangkat dan membentuk lembah serta daratan yang saat ini dikenal sebagai kota Palu.
Pendapat lainnya yaitu kata Palu berasal dari kata ‘Bolovatu atau Volovatu’ dalam bahasa Kaili. Kata tersebut merujuk pada jenis bambu yang tumbuh di daerah Tawaeli hingga Sigi.
Masyarakat Kaili dulunya hidup berdampingan dengan bambu ini karena manfaatnya dan digunakan dalam keseharian, seperti dijadikan lauk makan, bahan bangunan, perabotan rumah, permainan (Tilako), hingga alat musik (Lalove).
Baca juga: Mengenal Suku Buol di Sulawesi Tengah
Asal Muasal Kota Palu
Kota Palu mulanya merupakan sebuah kota kecil yang terdiri atas empat kampung, yaitu Besusu, Tanggabanggo (sekarang dikenal dengan Kelurahan Kamonji), Panggovia (sekarang Kelurahan Lere), dan Boyantonggo (sekarang Kelurahan Baru). Keempat kampung kecil ini kemudian membentuk dewan adat yang disebut Patanggota.
Patanggota memiliki tugas untuk memilih raja dan para pembantunya yang akan mengurus kegiatan kerajaan. Pada saat itu berdiri Kerajaan Palu dengan pusat pemerintahan berada di kota Palu. Kerajaan ini menjadi kerajaan yang sangat berpengaruh dan terkenal.
Belanda Menjajah
Di masa kepemimpinan Raja Maili (Mangge Risa), Belanda secara politik mendekatkan diri terhadap Kerjaan Palu. Tujuan pendekatan ini tidak lain untuk memperoleh perlindungan dari serangan Manado pada tahun 1868.
Dua tahun berselang pada 1888, Belanda masuk menjajah kota Palu dengan bala tentara dan ribuan kapal yang tiba di Kerajaan Palu. Mereka memulai penjajahan dengan menyerang daerah Kayumalue. Akibat dari peristiwa ini, Raja Maili terbunuh dan digantikan oleh Raja Jodjokondi.
Saat berada di bawah penjajahan Belanda, Kerjaan Palu menjadi bagian kekuasaan (Onder Afdeling Palu) yang terbagi atas tiga bagian, yaitu Landschap Palu yang terdiri dari Palu Timur, Palu Tengah, dan Palu Barat. Bagian kedua adalah Landschap Kulawi dan yang ketiga adalah Landschap Sigi Dolo.
Perebutan Kekuasaan antara Belanda dan Jepang
Jepang menjajah kota Palu dan memindahkan ibu kota yang semula berada di kota Palu ke kota Donggala (Afdeling Donggala). Namun, pada tahun 1942 terjadi pengambilan kekuasaan oleh Belanda kepada Jepang. Peristiwa ini mengakibatkan kota Donggala menjadi hancur.
Semasa perang Dunia ke-II dan setelah kemerdekaan Indonesia, ibu kota kembali dipindahkan ke kota Palu pada tahun 1950. Kota Palu kemudian menjadi pusat pemerintahan dan berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) di wilayah Sulawesi tengah dengan pusatnya di Kabupaten Poso.
Provinsi Sulawesi Tengah sendiri terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 yang menjadikan kota Palu sebagai ibu kota povinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 1978 kota Palu resmi ditetapkan menjadi kota administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1978 dan ditingkatkan menjadi Kotamadya Palu pada tahun 1994.
Baca juga:Tips Mudah Mengenal Mata Angin di Yogyakarta
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News