Paksi Raras Alit adalah seniman serba bisa yang dikenal dengan gerakan pelestarian tradisi dan budaya Jawa. Kesadarannya terhadap warisan budaya Jawa sudah ada sedari kecil di mana ia turut meramaikan Teater Jarik yang didirikan orang tuanya.
Berbekal warisan nilai luhur Jawa yang kuat membuat Paksi memilih jurusan Sastra Jawa di Universitas Gadjah Mada (UGM). Setelah meraih gelar sarjana, jurusan yang disebutnya tak populer itu kembali diambilnya untuk meraih gelar magister.
Selain berkarya, Paksi beserta kawan-kawan alumn Sastra Jawa UGM juga menginisiasi pendirian komunitas Jawacana. Lewat situ, ia berharap ilmu pengetahuan budaya Jawa bisa dikenalkan ke masyarakat lewat berbagai program menarik.
Misi Paksi untuk mengenalkan dan menjaga budaya Jawa tidak mudah. Berbagai tantangan mesti dihadapinya salah satunya stigmatisasi terhadap budaya Jawa yang kerap dipakai sineas Indonesia untuk menjual produk film mereka.
Stigma Budaya Jawa di Industri Film
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dihimpun Badan Pusat Statistik, suku Jawa adalah grup etnis terbanyak yang ada di Indonesia. Tercatat pada tahun tersebut suku Jawa mencapai angka 95 juta jiwa lebih yang sebarannya sebagian besar ada di Pulau Jawa dan Sumatra.
Konsekuensi sebagai mayoritas pun harus dihadapi suku Jawa entah itu dalam bentuk positif ataupun negatif. Dalam bentuk positif misalnya, pengenalan tradisi dan budaya Jawa menjadi lebih mudah dilakukan sehingga lebih pula dikenal ke banyak masyarakat lintas suku. Namun, timbal balik atau sisi negatifnya, nilai-nilai kejawaan menjadi lebih mudah diselewengkan dan kasus itu kerap terjadi di kultur populer seperti dunia perfilman nasional.
Paksi sadar akan hal itu. Ia menyebut konsekuensi yang timbul adalah tantangan yang harus dihadapi.
“Hal-hal yang berbau Jawa selalu menarik di Indonesia untuk diperbincangkan, dipergunjingkan, atau di-stereotyping-kan. Nah, sialnya atau sayangnya medium-medium digital yang termutakhir seperti medium audiovisual, kita bicara film, ketika mengangkat nilai-nilai Jawa yang paling menarik masuk dari hal-hal berkaitan dengan mysticism. Horor, takhayul, gaib, musyrik, bi’dah, dan lain sebagainya,” ucap Paksi kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.
Paksi setuju bahwa kebudayaan Jawa begitu menarik dengan adanya unsur magis di dalamnya. Namun, ia kurang setuju jika industri perfilman dengan mudahnya memberi stereotip negatif agar film mereka lebih menjual.
“Misalnya di film muncul tentang weton tiba-tiba diset sedemikian rupa bahwa weton adalah sesuatu yang mistis, tidak terjangkau oleh logika. Lingsir Wengi sebuah tembang yang awalnya memang puitis dan romantis tiba-tiba menjadi soundtrack film horor sebagai soundscape dalam adegan-adegan horor. Kemudian secara visual kostum pakai blangkon, pakai jarik itu adalah dukun dalam film horor. Keris itu adalah elemen kesaktian dukun. Nah, ini yang kami sayangkan,” kata Paksi.
Api perlawanan pun coba Paksi sulutkan lewat Jawacana. Komunitas itu selain menggelar program belajar aksara Jawa juga mengkampanyekan bahwa budaya Jawa terdahulu masih relevan dan kontekstual dalam kehidupan sehari-hari.
“Kami menghadirkan edukasi tentang jimat itu seperti apa, tentang klenik, tentang weton, tentang pusaka, atau tentang hal-hal berbau kejawaan, bahwa sebenarnya ada knowledge yang bisa dicerap. Knowledge positif alih-alih pengetahuan-pengetahuan atau wacana negatif yang muncul di film-film horor,” ujarnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News